Minggu, 06 Februari 2011

Marriage 102: Life Witness

Why is it, do you think, that people get married?
Because we need a witness to our lives.
I mean, there’s a billion people on the planet.
What does any one life really mean?

But in a marriage, you’re promising
To care about everything –
The good things, the bad things,
The terrible things, the mundane things..
All of it.
All the time, everyday.

You’re saying,
“Your life will not go unnoticed,
Because I will notice it.
Your life will not go unwitnessed,
Because I will be your witness.”

~ Susan Sarandon in “Shall We Dance?” ~

Pernahkah membayangkan hidup tanpa menikah, tanpa keluarga? Hanya sendiri di dunia, sampai masa tua? Di hari pemakaman, apa yang akan orang katakan tentang hidup kita?

“Dia orang yang pintar, selalu punya banyak ide.”

“Dia orangnya setia, dia memegang apa yang dia katakan.”

“Dia orang yang selalu gigih dan pantang menyerah.”

Cukup bagus, tapi semua itu adalah apa yang dilihat dari luar, dari jauh. Dari orang-orang yang sekali-sekali bertemu. Dan saat hari pemakaman itu berlalu, tidak ada yang tahu pasti hal-hal yang terdalam dan intim tentang kita. Bagaimana kita saat menghadapi masalah? Apa kebiasaan kita di malam hari sebelum tidur? Apa film dan lagu favorit kita? Apa kebodohan yang pernah kita lakuin, dan apa cita-cita yang tersembunyi yang ga pernah tercapai?

Dengan kata lain, hidup berlalu begitu saja, tanpa ada yang mengetahui diri kita yang sesungguhnya.Itulah yang digambarkan si Susan Sarandon dalam kata-kata di atas. Apa sih arti dari hidup seorang manusia? Sia-sia, kata Pengkhotbah. Keturunan yang satu pergi dan keturunan yang lain datang, tetapi bumi tetap ada (Pengkh 1:4). Orang-orang terkenal, yang berhasil mengukir sejarah dan diingat sampai berabad-abad, hanyalah sepersekian dari 6 milyar orang yang hidup di bumi pada masa ini. Bagaimana dengan orang-orang yang biasa-biasa saja seperti kita? Satu pribadi yang hidupnya ga berdampak buat banyak orang dan akan dilupakan ketika kita meninggalkan dunia.

Yang membuat perbedaan, adalah ketika kita MENIKAH. Inilah yang menjadi salah satu prinsip dari pernikahan gue saat ini. Dengan menikah, gue menyatakan bahwa hidup pasangan gue gak akan berlalu begitu saja tanpa ada orang yang mengenali siapa dia sesungguhnya. Hidupnya gak akan dilupakan semudah itu, karena ada gue yang menjadi saksi buat hidupnya. Gue yang menjadi saksi saat dia bergumul, saat dia lemah, saat dia jatuh, saat dia berjuang, saat dia bangkit lagi, saat dia menang. Gue menjadi saksi kebodohan-kebodohan dan kebiasaan anehnya. Gue menjadi saksi karakternya yang buruk, dan gue menjadi saksi saat dia berubah menjadi lebih baik. Begitu juga dia terhadap gue. Sekarang gue yakin, ketika gue gak ada, atau bahkan ketika gue masih ada dan orang meragukan siapa diri gue sesungguhnya, gue gak perlu kuatir. Ada dia, saksi hidup gue.

Bagaimana caranya menjadi seorang ‘life witness’? Tidak semudah “berada di TKP pada saat kejadian berlangsung”. Bukan hanya sekedar itu. Kamu harus PEDULI. Peduli akan hal-hal yang baik, hal-hal yang buruk, hal-hal yang terburuk, bahkan hal-hal yang rutin dan membosankan dan tidak menarik. Peduli dengan pergumulan dan situasi keuangan terburuk yang dialami suamimu, menjadi kekuatan baginya dan mau bersama mencari solusinya – bukannya menyalahkan dan lari dari masalah. Peduli dengan hal-hal sederhana yang menjadi keunikannya – bahwa dia tidak suka nasi uduk dan emping, misalnya. Peduli dengan apa yang ingin dia ceritakan tentang pekerjaannya – seberapapun membosankan hal itu.

Kalau kamu sungguh-sungguh dengan janji nikahmu, semua ini gak akan sulit buatmu. Karena dalam janji nikahmu terkandung semua esensi dari pernikahan – untuk selalu bersama-sama, untuk selalu peduli akan segala hal yang terjadi, entah itu hal yang besar seperti memutuskan rumah mana yang ingin dibeli, atau ketika anak sakit parah dan dirawat di rumah sakit, sampai hal yang sepele seperti siapa yang akan membuang sampah, dan bagaimana sebaiknya cara menaruh odol yang baik. Jika di masa singlemu kamu melakukan segala sesuatu sendiri tanpa harus memikirkan pendapat orang lain, maka sebaiknya kamu mulai membiasakan diri untuk membuka ruang untuk orang lain peduli akan hidupmu, dan dalam segala sesuatu. Bukan yang penting-penting saja yang kau ijinkan pasanganmu berperan. Tapi sampai ke hal pribadi dan sederhana, serta hal-hal yang kau tidak nyaman membicarakannya. That’s marriage!

Mengetahui bahwa hidupmu berarti bagi orang lain, adalah kekuatan yang membuat engkau terus berjuang dan berharap.

“Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” ~Matius 19:6~



Jumat, 04 Februari 2011

Marriage 101: Expect The Expected

Yap betul sekali, bukan expect the unexpected. Kenapa?? Karena kadang kita membuat harapan yang palsu dan muluk-muluk soal pernikahan. Contoh? "Hmm, gak apa-apalah sekarang ga bisa masak, nanti kalo udah nikah juga bisa." Atau, "Gak apa-apalah kalo sekarang dia kerjaannya nonton TV mulu, nanti kalo udah nikah juga nggak."

You know what? Semua itu adalah reasoning-nya kamu untuk melakukan pembenaran terhadap hal-hal yang sebenarnya kamu gak suka dari pasanganmu. Well, semua itu memang wajar-wajar saja dan memang biasa terjadi. Tapiiiii, semua itu membuat gambaran kita tentang pernikahan jadi BLUR. (baca: buram, cenderung mengawang-awang, gak nginjak bumi, dan dengan sedikit sentuhan kartunis, berwarna-warna indah dengan binatang-binatang yang menari dan bernyanyi sementara kamu dan pasanganmu berdansa dan berbaju indah)

Well guess what: NO SURPRISE!!! Yang artinya, apa yang terjadi di kehidupan sebelum nikah akan terjadi juga di kehidupan setelah nikah. Kalo dulu dia males, setelah nikah juga dia males! Kalo dulu dia gak bisa masak, dia gak akan magically langsung bisa masak setelah nikah!

Itu contoh-contoh yang biasa-biasa aja. Tapi what makes me sad is, kadang ada orang-orang yang punya reasoning yang jauh lebih dalam dari itu.

"Setelah nikah, dia gak akan ngelirik cewek lain." Teman, kalo dia ga menganggap kamulah satu-satunya sejak masa pranikah, kamu gak akan dengan instant jadi satu-satunya wanita dalam hidupnya setelah nikah.

"Setelah nikah, dia gak akan marah-marah sambil membanting barang lagi." Teman, lebih baik jangan ada barang pecah belah dalam perabot rumah tanggamu.

"Setelah nikah, dia pasti akan sayang sama Mamaku dan ga akan memaksa aku memilih antara dia dan Mama." Teman, setelah nikah dia masih tetap akan memaksamu memilih antara dia dan Mama. Sayangnya, setelah nikah kamu harus memilih dia dan kalau dia menjadikan itu sebagai senjatanya, lebih baik kamu say good-bye dulu sama masakan Mamamu yang tiada duanya.

"Setelah nikah, dia gak akan merendahkan dan membentak-bentak aku dengan kata-kata kasar lagi. Apalagi setelah aku mengandung anaknya." Teman, kalau sebelum nikah aja dia gak bisa menghargai kamu, jangan harap dia akan tiba-tiba menghargai kamu dan ga lagi menuntut ini itu dari kamu, apalagi setelah dia tau kekuranganmu yang berikutnya: bahwa kentutmu bau. (contoh dari berbagai kelemahan yang baru terbuka setelah nikah). Dan gimana kalo kamu ternyata ga bisa kasih dia anak laki-laki seperti yang dia mau?

"Setelah nikah, dia gak akan mengungkit yang lalu-lalu lagi waktu kita lagi konflik. Setelah nikah kan lembaran yang baru? Pastinya dia gak akan ngeluarin lagi kartu-kartu mati gue yang dia pegang itu. Mungkin bahkan kita gak akan sering konflik seperti sekarang setelah nikah." Teman, ada begitu banyak hal yang bisa jadi pemicu konflik setelah nikah. Dan lebih banyak lagi kartu-kartumu yang akan dia gunakan sebagai senjata.

"Setelah nikah, dia gak akan cemburuan dan melarang aku pergi sama teman-temanku lagi," Teman, sebaiknya kamu siap-siap beli binatang peliharaan untuk menemanimu.

"Setelah nikah, dia pasti akan mau mengikuti gaya hidup aku yang sederhana. Gak ada pilihan lain kan?" Teman, selalu ada pilihan. Kalau dari sebelum nikah dia sudah bilang gak mau hidup susah, hmmm, she might have to learn it the hard way. Dan itupun gak menjamin dia akan bertahan.

"Setelah nikah, dia gak akan membohongi aku lagi dan gak akan berselingkuh lagi." Teman, it is your choice. Gak ada kepastian akan hal itu, dan kalau dia kembali berselingkuh, itu SALIB YANG HARUS KAMU PIKUL.

What I'm saying is, mengapa banyak dari kita adalah orang-orang bodoh yang membohongi diri sendiri dengan begitu banyak pembenaran, penghiburan dari rasa tertekan kita? Mengapa banyak dari kita terus menerus berkata, "Dia akan jadi orang yang berbeda setelah nikah, seperti aku juga akan jadi orang yang berbeda setelah nikah." Kenyataannya, kita (dan mudah-mudahan dia) akan menjadi orang yang berbeda, kira-kira dua tahun, lima tahun, atau sepuluh tahun setelah menikah. Setelah kita melewati masa-masa penuh kekecewaan, sakit hati, kesedihan, kemarahan, keputusasaan.

Dan ternyata setelah sekian lama waktu berlalu, mungkin kita tetap tidak berubah. Yang berubah adalah cara berpikir kita. Pasrah karena sudah tidak ada yang bisa dilakukan, menerima karena memang harus diterima. Dan pada saat itu, mungkin hubungan kita sudah menjadi dingin, dan hari-hari dijalani seperti tidak ada lagi kepercayaan dan pengharapan.

Bukannya mau bilang bahwa orang gak bisa berubah. BISA BANGET. Tapi, alangkah lebih baiknya kalau kita tidak memulai dengan awal yang salah. Alangkah lebih baiknya kalau dari awal, kita berhenti membohongi diri sendiri dan bertanya, "Kalau dia tidak berubah sampai selama-lamanya, siapkah saya hidup dengan itu (baca: kemalasannya, kecemburuannya, kebiasaannya selingkuh, dll)?"

Kalau jawabannya tidak, jangan coba untuk melangkah lebih jauh.
Kalau jawabannya ya, ingatlah bahwa itu salib yang harus kau pikul.
Daaannn, jangan pernah berpikir bahwa kamu sedang memberinya kesempatan kedua saat kamu menikahinya. Tidak akan pernah ada kesempatan ketiga dan seterusnya. Turn your back on him/her now, OR NEVER.


Teman, saya bukan orang yang sempurna. Saya mengecewakan dan tidak dapat memenuhi pengharapan suami saya. Tapi saya tahu dia mengasihi saya dan sudah memutuskan untuk hidup bersama saya walau saya tidak berubah sampai selama-lamanya.

Yang menarik dari hal ini adalah, karena saya tahu hal itu, saya jadi ingin berubah. Saya ingin berusaha, walaupun sulit, karena saya mengasihinya dan ingin menyenangkan hatinya. Kelemahan saya tidak pernah menjadi konflik di antara kami karena saya tahu dia tidak menuntut. Saya ingin berubah karena itu adalah bukti bahwa saya mengasihi dia, dan karena dia berkata,

"Saya mau menjadi saksi hidup bahwa kamu bisa berubah dan saya mau menjadi saksi mengenai bagaimana kamu berubah."

More on that later.