Selasa, 04 September 2012

Hati Perjanjian


I have died everyday waiting for you
Darlin’ don’t be afraid I have loved you for a thousand years
I’ll love you for a thousand more
~A Thousand Years, Christina Perri~

Ini lagu lagi ngetrend. Dimana-mana ketemu lagu ini melulu. Kepake banget buat lagu merit. Liriknya emang romantis dan pas buat pernikahan. Tapi jadi ironi juga karena beberapa dari pasangan yang menikah dengan lagu ini, ujung-ujungnya cerai hanya dalam beberapa tahun bahkan bulan. Boro-boro a thousand years.

Gue sering bertanya-tanya, apa sih yang menyebabkan orang bisa segitu gampangnya bercerai atau berantem sampe mau pisah? Kenapa ada pasangan yang langgeng-langgeng aja, ada juga yang baru merit udah berantem mulu? Ada pasangan yang gak kenal Tuhan tapi awet dan saling cinta banget sampe tua. Ada juga yang kenal Tuhan bahkan pemimpin di gereja tapi buset berantem mulu dan kayanya saling mencinta tapi saling menyiksa. What’s the deciding factor? Dua-duanya mengucap janji nikah. Dua-duanya mengaku saling mencintai. Tapi?

Baru-baru ini gue ketemu jawabannya: HATI PERJANJIAN.
Yang lebih penting dari sekedar kata-kata, adalah HATI. Berarti bukan hanya sekedar mengucapkan, tapi memaknai dari hati dengan tekad untuk melakukannya berapapun harganya. To make this relationship work whatever it takes. Orang yang mengerti tentang hal ini, pasti gak akan mengucap banyak kata dan janji, karena yang lebih penting dari itu adalah tindakan yang dari hati. Dengan sendirinya, dia akan menjadi Covenant Keeper – penjaga dan pelaksana perjanjian.

Kalo buat gue sendiri, hanya satu kalimat yang menjadi dasar hubungan gue dengan Eko. Sebuah kalimat yang menjadi janji kita terhadap satu sama lain, 7 tahun yang lalu. Waktu itu, dengan kondisi kita berdua masih muda, belum mapan, masih perlu banyak belajar, dia bertanya:
“Kamu mau sama-sama aku gak?”
Dia bahkan gak PD untuk minta gue jadi istrinya. Dia gak bisa janjiin kenyamanan dalam bentuk apapun. Dengan kata-kata itu, dia seperti bilang, “Ini gue apa adanya. I can’t promise you anything, but I will try my best to be the man you deserve.”
Tapi, knowing the man he is, that’s enough for me. Gue tahu dia orang yang gak sembarangan bicara dan dia serius dengan apa yang dia katakan.
So, without doubt or hesitation, gue jawab: “Iya. Aku mau sama-sama kamu.”

Selama 5 tahun kita bangun hubungan dan 2 tahun pernikahan, ada saat-saatnya gue merasa sendiri dan takut, khawatir akan masa depan. Kembali kata-kata itu berperan, “Aku sama-sama kamu kok.” Dari hal kecil sampai besar, urusan perut, otak, sampai hati, kami saling tahu dan saling peduli.
In the end, we’re too used to being together that being apart simply doesn’t work as well. We have a really great teamwork, we know the way each other thinks, we trust each other completely. Dalam hal pekerjaan, keluarga, bahkan hal simpel seperti masak + cuci piring, cuci + jemur baju, nyapu + ngepel, we did them all together. Sekarang sih dah gak terlalu gitu-gitu amat, but in the beginning it helped us find our sync and harmony.

It’s not just about being together. The other side of it means that we will never leave each other, never stop caring for each other. Itu sebabnya, seorang dengan hati perjanjian gak akan pernah terpikir untuk selingkuh atau meninggalkan pasangannya untuk kepentingan diri sendiri. Hatinya sudah di-setting untuk selalu ada bersama pasangannya.

Bahkan saat mengalami konflik, perbedaan pendapat, kesalahpahaman gara-gara nada suara, in the end we just forgive each other and let it go. Karena, ada janji tak terucap tapi terukir di hati yang berkata, “Even when we disagree, I’m still with you.” Pasangan dengan Hati Perjanjian akan menemukan kesepakatan di tengah ketidaksepakatan. Karena gak pernah menjadi masalah siapa yang salah, yang lebih penting adalah terus bersama-sama melangkah.

It’s all in the HEART. Orang yang punya hati perjanjian memiliki “kekekalan” dalam hatinya, an eternal commitment, sebuah komitmen tanpa syarat dan ketentuan berlaku. Mati terhadap diri sendiri setiap hari, walau terkadang memang ada unsur “saling membunuh” (waktu ego masing-masing muncul). Tapi kembali lagi, pernikahan adalah sebuah perjanjian, bukan pertarungan. Tidak perlu ada yang menang atau kalah.

“Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.” Pengkh 3:11.
“Kekekalan” itu diberikan oleh Allah. Komitmen abadi itu bukan karena kekuatan kita manusia, karena kita gak mampu melakukannya. Allah memberikannya, dan bukan dengan cara yang bisa dijelaskan dan dipaparkan. How would you explain dying for someone else everyday? Bukan sesuatu hal yang bisa diterima oleh manusia dan egonya. Tapi itulah arti dari kasih karunia. Salib yang menyentuh hati kita dan memberi anugerah untuk kita berjalan dalam kasih Agape.

~Oleh anugerah dan kasih sayang Bapa Surgawi, hari ini, 6 Maret 2010, saya Anastasia menerima Eko sebagai suami saya satu-satunya. Saya berjanji akan bertanggung jawab menjadi istri yang tunduk, hormat, melayani dan mendukung Eko. Saya berjanji untuk menjadi ibu yang bijaksana bagi anak-anak yang Tuhan percayakan serta mendidik mereka dalam jalan Tuhan.
Janji ini akan saya lakukan baik dalam keadaan sehat maupun sakit, kaya maupun miskin, dan dalam keadaan apapun, sampai Bapa memanggil kita kembali ke surga.~
Gue berdoa supaya hari ini pun gue bisa melaksanakan janji ini, dan gue berdoa supaya Tuhan kasih gue kesempatan untuk menepati janji gue menjadi ibu yang bijak bagi anak-anak gue.

Buat temen-temen yang baca ini, I don’t know which stage you’re in right now. Entah lo lagi bangun hubungan, entah lo udah nikah, entah lo masih jomblo, pesan gue cuma satu: berlatihlah untuk punya hati perjanjian. It’s all about the HEART.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar