Selasa, 24 Januari 2012

When You Say Nothing At All

“Di balik senyuman seorang wanita, sebenarnya hatinya menangis.”
“Belahan jiwa adalah seorang yang dapat melihat kepedihan di balik senyuman terindah kita.”

Dan masih banyak lagi quotes bertema sama yang sering di-RT oleh para gadis-gadis di Twitter  (Bener kan girls hahahah)

Sementara itu, seorang pria pernah berkata, ia mungkin dapat menaklukkan dunia, sukses dalam pekerjaan, materi, pelayanan dan berbagai hal lain – tapi karena ia tidak dapat mengerti istrinya, hidup pernikahannya tetap terasa seperti di neraka.

Padahal, melihat quote-quote di atas yang sangat populer, sepertinya ‘anthem’ para wanita adalah “Pria idaman saya adalah pria yang mengerti saya!!” Yang setuju katakan AMIN!!! (bad news, guys)

Satu lagi quote yang menggambarkan pria idaman para wanita secara lebih spesifik: “Pria yang tepat adalah pria yang dapat mengerti tanpa kita perlu berkata-kata.” HELLOOOO cari pasangan hidup apa paranormal??

Akibat dari quote-quote tersebut, banyak wanita terbiasa menyembunyikan tangisannya, bersikap misterius dan menjawab “gpp” ketika sedang ada apa-apa.

Memang banyak quote tersebut bagus, dan mengajarkan kita para wanita khususnya untuk gak manja -> jangan cengeng sama situasi, harus tetap tersenyum, tabah dan tegar menghadapi masa sulit, Setujuhhhhh.

Tapi bukan berarti wanita yang kuat adalah wanita yang PAKE TOPENG. Yuk mari adakan survey, apakah pria lebih tertarik pada wanita yang misterius? Pastinya banyak yang menjawab Ya. Tapi apakah pria senang membangun hubungan dengan wanita yang misterius? Pastinya banyak yang menjawab Tidak. Mengapa? Jawaban yang sangat gamblang: karena mereka jadi BINGUNG.

Relationship is already hard as it is – dari sananya, dengan 2 kepribadian yang beda, latar belakang yang beda, bahasa kasih dan cara berkomunikasi yang beda, yang namanya membangun hubungan itu emang udah susah. Gak perlu lagi dipersulit dengan menjadi sok-sok misterius, sok-sok tegar, sok-sok kuat. Itu cuma bikin frustrasi pasangan lo.

Seperti Raditya Dika menggambarkan dengan lucu di salah satu stand up comedynya – cewek itu, kalo ditanya, “Ada apa sih, kamu kok keliatan sedih?” pasti bakal menjawab, “Gak pa-pa.” Tapi, mukanya sedih banget macem kucing kesayangannya baru mati.
Kalo ditanya lagi, “Kenapa sih, kamu lagi sedih ya?”
Jawabannya, “Gak papa. Beneran, aku gak papa.”
Tapi ketika si cowok memutuskan untuk “sudahlah biarkan saja nanti juga baek sendiri”, si cewek langsung berpikir yang nggak-nggak, yang ujung-ujungnya adalah “kok dia gak peduli sama aku??”
Lalu keluarlah kata-kata ajaib itu, “Kamu gak pernah ngerti aku!”
Di tahap ini, kata Raditya Dika, lebih baik si cowok langsung.......... pura-pura mati.

Temans, dunia ini begitu sibuk mencekoki kita dengan stereotype bahwa wanita itu ingin dimengerti, sulit dimengerti dan tugas pria adalah mengerti. Akibatnya, kita begitu sibuk menjadi misterius sehingga kita kesulitan menjadi diri sendiri. Padahal, dalam membangun sebuah hubungan yang sehat dan benar, kita perlu belajar terbuka. Terbuka dengan apa yang kita rasakan, terbuka dengan apa yang kita inginkan, apa yang kita harapkan. Namun keterbukaan itu seringkali tidak terjadi karena berbagai alasan dan kepercayaan yang salah.

Berikut adalah alasan-alasan yang kita sering sebutin, dan hal-hal yang sebenarnya terjadi ketika kita tidak terbuka:

#1
Alasan: Kalau dia cowok kita, harusnya dia dah ngerti dong apa yang kita mau tanpa dikasitau!

Yang terjadi: Kita sedang mengajari para pria membentuk “pola asumsi” – karena kita tidak terbuka tapi kita mengharap pria secara ajaib tahu apa yang ada dalam kepala dan hati kita, kemudian melakukan sesuatu yang kita ingin mereka lakukan: misalnya, saat kita dengan wajah galau bilang “gpp”, sebenernya dalam hati kita lagi mengucap mantra “ayo dong hibur gue, gw lagi ngerasa minder nih, ayo dong puji gue, bilang gue cantik kek, apa kek” yang tak kunjung sampai karena emang gak ada yang namanya telepati. Kita berdalih, “kita kan lagi mengajar si cowok untuk ngertiin kita!”

HELLOOOOO!!! Ketika si cowok akhirnya bertindak karena sudah frustrasi, dia melakukannya atas dasar ASUMSI!

“Kayanya dia lagi galau nih, mungkin kucingnya mati. Gue beliin bunga deh.” – diterima dengan senyum sumringah.
“Kayanya dia lagi galau, mungkin lagi pengen makan enak. Gue traktir di resto deh.” – kembali sukses.
“Kayanya dia lagi galau, ngeliatin tangannya mulu. Mungkin dia pengen pake perhiasan. Gue beliin deh.” – BINGO!

Alhasil, si cowok pun yakin uang adalah jawaban untuk semua sepak terjang wanita yang ajaib-ajaib itu – padahal wanita sebenernya cuma butuh didengarkan. Tapi kadang emang wanitanya juga yang ga jelas. Pengen didenger tapi gak mau ngomong.

****Bayangin kalo kita ke dokter, dokternya nanya “keluhannya apa?” trus kita jawab “gak ada apa-apa sih dok,” – trus karena muka kita keliatan sedih, akhirnya dokter kasih kita obat sakit kepala... padahal kita sakit perut.

#2
Alasan: Kan lagi mengajar si cowok untuk inisiatif! Kan gue malu kalo dengan gamblang bilang, “hibur gue dong!”

Yang terjadi: Kita sedang memanipulasi para pria untuk ujung-ujungnya melakukan apa yang kita mau. Muka kita yang cemberut aja udah membuat mereka kecil hati – ditambah dengan tangisan; yang makin membuat mereka stress. Dibumbui dengan kata-kata penuduhan seperti, “kamu udah beda ama dulu! Kamu ga sayang aku lagi!” Makin membuat si pria frustrasi dan akhirnya mau melakukan apapun untuk membuat kita tersenyum kembali.

Temans, manipulasi itu dosa lohh. Itu, kalo bahasa Amsal: “Merencanakan tipu muslihat”. Bahaya ituuuu.

Dan mungkin kita bilang, “ahh terlalu berlebihan, gue gak begitu kokkk.” – Silahkan introspeksi diri, jangan-jangan sekarangpun kamu sudah bertopeng?

#3
Alasan: Kita kan melindungi hati kita daripada disakiti. Kalau kita terlalu terbuka dan mempercayakan seluruh hati dan perasaan kita ke dia, gimana kalo nanti dia nyakitin kitaa???

Yang terjadi: Kita sedang bersikap egois dan sombong. Ketika kita menutupi perasaan kita dan ujung-ujungnya jadi ngambek pada cowok yang tidak mengerti, itulah betapa egois dan sombongnya kita. Padahal kita sendiri yang terlalu sombong untuk bilang, “gue butuh dihibur nihhh” dan malahan dalam hati ada perkataan, “Ya udah! Emangnya gue ga bisa sendiri tanpa elo? Emang cuma Tuhan yang bisa ngerti gue!”

........ “Kawin aja ama Tuhan sono!”

Betapa berdosanya kita ketika, mungkin bukan hanya dengan perkataan, tapi dengan tindakan dan sikap tubuh kita, kita menghakimi, menuduh dan mengintimidasi pria.

*Dengan perkataan: “Ya udah kalo kamu gak mau temenin aku, gpp kok aku juga bisa sendiri.”
*Dengan sikap tubuh: *dingin* *tanpa senyum* *buang muka* *balik badan*

Ingat, pernikahan adalah bunuh diri, bukan gengsi-gengsian.

#4
Alasan: Kita sedang membangun diri kita untuk tidak manja dan tidak tergantung orang lain. Gak mau egois dengan minta ini-itu.

Yang terjadi: Kita sedang tidak jujur dengan diri sendiri. Terbiasa mengatakan, “Saya kuat, saya tidak perlu menunjukkan bahwa saya lemah” – adalah sikap yang akan berujung pada tidak mengandalkan Tuhan.

Pura-pura kuat, pura-pura bisa sendiri, pura-pura tegar pada akhirnya akan membuat kita lelah, dan dengan dramatis kita bilang ke Tuhan, “Tuhan, aku dah ga mampu menanggung ini semua, aku dah gak mampu menanggung sendiri!” – padahal mungkin Tuhan mo ngomong, dari awal siapa yang suruh lo tanggung sendiri?

Intinya, gue cuman mo bilang, jujurlah dengan diri lo sendiri, jujurlah dengan pasangan lo. Kalo elo belum punya pasangan, mulailah dari sekarang latih diri lo untuk jujur. Lepaslah topeng-topeng yang lo pake untuk membentuk imej “wanita kuat” – karena wanita yang menangis belum tentu wanita yang lemah. Pada siapa lo harus tampil jujur? Pada semua orang. Gak pernah ada alasan untuk tampil gak jujur dan bertopeng. Who do you wanna impress?

After all, men like genuine women. Wanita-wanita yang apa adanya dan bukan ada apanya. And I’m not saying it’s gonna be easy – been there, done that. Betapa banyaknya konflik yang terjadi selama masa pra nikah gue karena gue adalah orang yang sok kuat, egois, dan manipulator. Seringkali gue sendiri yang membakar jembatan komunikasi itu dengan ngambek-ngambeknya gue, dan gue frustrasi sendiri ketika sebenernya all I really wanted is to say that I care, dan gue cuma butuh didengar. Tapi gue terlalu sombong untuk mengatakannya.

So I repented and changed my ways, dan ketika gue lepas topeng gue serta bisa terbuka 100 persen, I feel FREE. Free to be who I am and free to say what I want. Kata-kata simple seperti “temenin aku dong” atau “dengerin aku dong” atau “aku sedih nih” sudah memerdekakan gue. Ada jaminan 100% gak bakal sakit? Gak ada. After all, we’re only human, right? Manusia bisa mematahkan hati kita, tapi Tuhan bisa membalutnya. Jadi, ibaratnya orang ga takut masuk RS karena punya asuransi, kita juga ga perlu takut sakit hati karena ada Bapa di surga yang mengasihi kita no matter what!

Jadi, stop bilang “terserah” ketika ditanya “kamu maunya apa?”

Dan stop pura-pura tersenyum saat lagi tertekan :)

PS: Jangan dengerin lagu “When you say nothing at all-nya Ronan Keating :)

Minggu, 06 Februari 2011

Marriage 102: Life Witness

Why is it, do you think, that people get married?
Because we need a witness to our lives.
I mean, there’s a billion people on the planet.
What does any one life really mean?

But in a marriage, you’re promising
To care about everything –
The good things, the bad things,
The terrible things, the mundane things..
All of it.
All the time, everyday.

You’re saying,
“Your life will not go unnoticed,
Because I will notice it.
Your life will not go unwitnessed,
Because I will be your witness.”

~ Susan Sarandon in “Shall We Dance?” ~

Pernahkah membayangkan hidup tanpa menikah, tanpa keluarga? Hanya sendiri di dunia, sampai masa tua? Di hari pemakaman, apa yang akan orang katakan tentang hidup kita?

“Dia orang yang pintar, selalu punya banyak ide.”

“Dia orangnya setia, dia memegang apa yang dia katakan.”

“Dia orang yang selalu gigih dan pantang menyerah.”

Cukup bagus, tapi semua itu adalah apa yang dilihat dari luar, dari jauh. Dari orang-orang yang sekali-sekali bertemu. Dan saat hari pemakaman itu berlalu, tidak ada yang tahu pasti hal-hal yang terdalam dan intim tentang kita. Bagaimana kita saat menghadapi masalah? Apa kebiasaan kita di malam hari sebelum tidur? Apa film dan lagu favorit kita? Apa kebodohan yang pernah kita lakuin, dan apa cita-cita yang tersembunyi yang ga pernah tercapai?

Dengan kata lain, hidup berlalu begitu saja, tanpa ada yang mengetahui diri kita yang sesungguhnya.Itulah yang digambarkan si Susan Sarandon dalam kata-kata di atas. Apa sih arti dari hidup seorang manusia? Sia-sia, kata Pengkhotbah. Keturunan yang satu pergi dan keturunan yang lain datang, tetapi bumi tetap ada (Pengkh 1:4). Orang-orang terkenal, yang berhasil mengukir sejarah dan diingat sampai berabad-abad, hanyalah sepersekian dari 6 milyar orang yang hidup di bumi pada masa ini. Bagaimana dengan orang-orang yang biasa-biasa saja seperti kita? Satu pribadi yang hidupnya ga berdampak buat banyak orang dan akan dilupakan ketika kita meninggalkan dunia.

Yang membuat perbedaan, adalah ketika kita MENIKAH. Inilah yang menjadi salah satu prinsip dari pernikahan gue saat ini. Dengan menikah, gue menyatakan bahwa hidup pasangan gue gak akan berlalu begitu saja tanpa ada orang yang mengenali siapa dia sesungguhnya. Hidupnya gak akan dilupakan semudah itu, karena ada gue yang menjadi saksi buat hidupnya. Gue yang menjadi saksi saat dia bergumul, saat dia lemah, saat dia jatuh, saat dia berjuang, saat dia bangkit lagi, saat dia menang. Gue menjadi saksi kebodohan-kebodohan dan kebiasaan anehnya. Gue menjadi saksi karakternya yang buruk, dan gue menjadi saksi saat dia berubah menjadi lebih baik. Begitu juga dia terhadap gue. Sekarang gue yakin, ketika gue gak ada, atau bahkan ketika gue masih ada dan orang meragukan siapa diri gue sesungguhnya, gue gak perlu kuatir. Ada dia, saksi hidup gue.

Bagaimana caranya menjadi seorang ‘life witness’? Tidak semudah “berada di TKP pada saat kejadian berlangsung”. Bukan hanya sekedar itu. Kamu harus PEDULI. Peduli akan hal-hal yang baik, hal-hal yang buruk, hal-hal yang terburuk, bahkan hal-hal yang rutin dan membosankan dan tidak menarik. Peduli dengan pergumulan dan situasi keuangan terburuk yang dialami suamimu, menjadi kekuatan baginya dan mau bersama mencari solusinya – bukannya menyalahkan dan lari dari masalah. Peduli dengan hal-hal sederhana yang menjadi keunikannya – bahwa dia tidak suka nasi uduk dan emping, misalnya. Peduli dengan apa yang ingin dia ceritakan tentang pekerjaannya – seberapapun membosankan hal itu.

Kalau kamu sungguh-sungguh dengan janji nikahmu, semua ini gak akan sulit buatmu. Karena dalam janji nikahmu terkandung semua esensi dari pernikahan – untuk selalu bersama-sama, untuk selalu peduli akan segala hal yang terjadi, entah itu hal yang besar seperti memutuskan rumah mana yang ingin dibeli, atau ketika anak sakit parah dan dirawat di rumah sakit, sampai hal yang sepele seperti siapa yang akan membuang sampah, dan bagaimana sebaiknya cara menaruh odol yang baik. Jika di masa singlemu kamu melakukan segala sesuatu sendiri tanpa harus memikirkan pendapat orang lain, maka sebaiknya kamu mulai membiasakan diri untuk membuka ruang untuk orang lain peduli akan hidupmu, dan dalam segala sesuatu. Bukan yang penting-penting saja yang kau ijinkan pasanganmu berperan. Tapi sampai ke hal pribadi dan sederhana, serta hal-hal yang kau tidak nyaman membicarakannya. That’s marriage!

Mengetahui bahwa hidupmu berarti bagi orang lain, adalah kekuatan yang membuat engkau terus berjuang dan berharap.

“Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” ~Matius 19:6~



Jumat, 04 Februari 2011

Marriage 101: Expect The Expected

Yap betul sekali, bukan expect the unexpected. Kenapa?? Karena kadang kita membuat harapan yang palsu dan muluk-muluk soal pernikahan. Contoh? "Hmm, gak apa-apalah sekarang ga bisa masak, nanti kalo udah nikah juga bisa." Atau, "Gak apa-apalah kalo sekarang dia kerjaannya nonton TV mulu, nanti kalo udah nikah juga nggak."

You know what? Semua itu adalah reasoning-nya kamu untuk melakukan pembenaran terhadap hal-hal yang sebenarnya kamu gak suka dari pasanganmu. Well, semua itu memang wajar-wajar saja dan memang biasa terjadi. Tapiiiii, semua itu membuat gambaran kita tentang pernikahan jadi BLUR. (baca: buram, cenderung mengawang-awang, gak nginjak bumi, dan dengan sedikit sentuhan kartunis, berwarna-warna indah dengan binatang-binatang yang menari dan bernyanyi sementara kamu dan pasanganmu berdansa dan berbaju indah)

Well guess what: NO SURPRISE!!! Yang artinya, apa yang terjadi di kehidupan sebelum nikah akan terjadi juga di kehidupan setelah nikah. Kalo dulu dia males, setelah nikah juga dia males! Kalo dulu dia gak bisa masak, dia gak akan magically langsung bisa masak setelah nikah!

Itu contoh-contoh yang biasa-biasa aja. Tapi what makes me sad is, kadang ada orang-orang yang punya reasoning yang jauh lebih dalam dari itu.

"Setelah nikah, dia gak akan ngelirik cewek lain." Teman, kalo dia ga menganggap kamulah satu-satunya sejak masa pranikah, kamu gak akan dengan instant jadi satu-satunya wanita dalam hidupnya setelah nikah.

"Setelah nikah, dia gak akan marah-marah sambil membanting barang lagi." Teman, lebih baik jangan ada barang pecah belah dalam perabot rumah tanggamu.

"Setelah nikah, dia pasti akan sayang sama Mamaku dan ga akan memaksa aku memilih antara dia dan Mama." Teman, setelah nikah dia masih tetap akan memaksamu memilih antara dia dan Mama. Sayangnya, setelah nikah kamu harus memilih dia dan kalau dia menjadikan itu sebagai senjatanya, lebih baik kamu say good-bye dulu sama masakan Mamamu yang tiada duanya.

"Setelah nikah, dia gak akan merendahkan dan membentak-bentak aku dengan kata-kata kasar lagi. Apalagi setelah aku mengandung anaknya." Teman, kalau sebelum nikah aja dia gak bisa menghargai kamu, jangan harap dia akan tiba-tiba menghargai kamu dan ga lagi menuntut ini itu dari kamu, apalagi setelah dia tau kekuranganmu yang berikutnya: bahwa kentutmu bau. (contoh dari berbagai kelemahan yang baru terbuka setelah nikah). Dan gimana kalo kamu ternyata ga bisa kasih dia anak laki-laki seperti yang dia mau?

"Setelah nikah, dia gak akan mengungkit yang lalu-lalu lagi waktu kita lagi konflik. Setelah nikah kan lembaran yang baru? Pastinya dia gak akan ngeluarin lagi kartu-kartu mati gue yang dia pegang itu. Mungkin bahkan kita gak akan sering konflik seperti sekarang setelah nikah." Teman, ada begitu banyak hal yang bisa jadi pemicu konflik setelah nikah. Dan lebih banyak lagi kartu-kartumu yang akan dia gunakan sebagai senjata.

"Setelah nikah, dia gak akan cemburuan dan melarang aku pergi sama teman-temanku lagi," Teman, sebaiknya kamu siap-siap beli binatang peliharaan untuk menemanimu.

"Setelah nikah, dia pasti akan mau mengikuti gaya hidup aku yang sederhana. Gak ada pilihan lain kan?" Teman, selalu ada pilihan. Kalau dari sebelum nikah dia sudah bilang gak mau hidup susah, hmmm, she might have to learn it the hard way. Dan itupun gak menjamin dia akan bertahan.

"Setelah nikah, dia gak akan membohongi aku lagi dan gak akan berselingkuh lagi." Teman, it is your choice. Gak ada kepastian akan hal itu, dan kalau dia kembali berselingkuh, itu SALIB YANG HARUS KAMU PIKUL.

What I'm saying is, mengapa banyak dari kita adalah orang-orang bodoh yang membohongi diri sendiri dengan begitu banyak pembenaran, penghiburan dari rasa tertekan kita? Mengapa banyak dari kita terus menerus berkata, "Dia akan jadi orang yang berbeda setelah nikah, seperti aku juga akan jadi orang yang berbeda setelah nikah." Kenyataannya, kita (dan mudah-mudahan dia) akan menjadi orang yang berbeda, kira-kira dua tahun, lima tahun, atau sepuluh tahun setelah menikah. Setelah kita melewati masa-masa penuh kekecewaan, sakit hati, kesedihan, kemarahan, keputusasaan.

Dan ternyata setelah sekian lama waktu berlalu, mungkin kita tetap tidak berubah. Yang berubah adalah cara berpikir kita. Pasrah karena sudah tidak ada yang bisa dilakukan, menerima karena memang harus diterima. Dan pada saat itu, mungkin hubungan kita sudah menjadi dingin, dan hari-hari dijalani seperti tidak ada lagi kepercayaan dan pengharapan.

Bukannya mau bilang bahwa orang gak bisa berubah. BISA BANGET. Tapi, alangkah lebih baiknya kalau kita tidak memulai dengan awal yang salah. Alangkah lebih baiknya kalau dari awal, kita berhenti membohongi diri sendiri dan bertanya, "Kalau dia tidak berubah sampai selama-lamanya, siapkah saya hidup dengan itu (baca: kemalasannya, kecemburuannya, kebiasaannya selingkuh, dll)?"

Kalau jawabannya tidak, jangan coba untuk melangkah lebih jauh.
Kalau jawabannya ya, ingatlah bahwa itu salib yang harus kau pikul.
Daaannn, jangan pernah berpikir bahwa kamu sedang memberinya kesempatan kedua saat kamu menikahinya. Tidak akan pernah ada kesempatan ketiga dan seterusnya. Turn your back on him/her now, OR NEVER.


Teman, saya bukan orang yang sempurna. Saya mengecewakan dan tidak dapat memenuhi pengharapan suami saya. Tapi saya tahu dia mengasihi saya dan sudah memutuskan untuk hidup bersama saya walau saya tidak berubah sampai selama-lamanya.

Yang menarik dari hal ini adalah, karena saya tahu hal itu, saya jadi ingin berubah. Saya ingin berusaha, walaupun sulit, karena saya mengasihinya dan ingin menyenangkan hatinya. Kelemahan saya tidak pernah menjadi konflik di antara kami karena saya tahu dia tidak menuntut. Saya ingin berubah karena itu adalah bukti bahwa saya mengasihi dia, dan karena dia berkata,

"Saya mau menjadi saksi hidup bahwa kamu bisa berubah dan saya mau menjadi saksi mengenai bagaimana kamu berubah."

More on that later.

Rabu, 06 Oktober 2010

Kisah Si Wanita Bodoh (2). Relationship, Part 8

(Bagi yang belum baca Kisah Si Wanita Bodoh (1), baca dulu ya)

Ai membolak-balik undangan berwarna keemasan di tangannya. Sederhana, namun cukup elegan. Ia kembali membaca nama yang tertera di sana. Roy dan Maya.

Pikiran Ai kembali ke 9 tahun yang lalu. Kenangan yang menyakitkan sekaligus menghangatkan hati. Menyakitkan, jika mengingat rasa hatinya saat itu. Menghangatkan, karena Ai tahu bahwa apa yang terjadi saat itu berperan besar dalam membuat Ai jadi seperti sekarang. Wanita yang utuh dan bahagia.

Hari itu, Ai memutuskan untuk taat walau Ai tidak mengerti sepenuhnya. Ia memutuskan untuk menyerahkan masa depannya pada Tuhan dan melepaskan keinginan hatinya.

Percakapan telepon itu sangat menyayat hati. Ai menangis. Roy juga. Ai berterima kasih untuk kesempatannya boleh mengenal Roy lebih dekat. Tapi Ai tidak ingin mengikat Roy lagi dengan perasaannya, membuat Roy tidak bisa berfokus pada proses Tuhan buat hidupnya sebagai pria. Roy masih berusaha meyakinkan Ai bahwa Ai sama sekali bukan hambatan bagi hidupnya. Bahwa Roy masih dan akan selalu menyayangi Ai. Bahwa Roy tidak mau kehilangan Ai.

Tapi hari itu Ai memantapkan hatinya. Ai melepaskan Roy dan perasaannya padanya. Ai tahu ia akan merindukan Roy dan perhatiannya, dan persahabatan mereka. Tapi Ai mau berserah pada Bapa di Surga. Ia ingin dibentuk menjadi wanita yang utuh dan sempurna terlebih dahulu sebelum nantinya ia akan menjadi pendamping bagi seseorang yang diciptakan Tuhan untuknya. Mungkin itu Roy. Mungkin juga bukan. Ai berserah.

Hari-hari berikutnya sangat berat bagi Ai. Adakalanya Roy tiba-tiba mengirimkan sms, mengatakan ia masih menyayangi Ai. Tapi Ai tidak bergeming. Ia ingin tetap bertahan pada keputusannya, dan berharap Roy akan mengerti dan menerima keputusan Ai. Kemudian Roy menjauhinya dan seakan-akan menjadi orang yang berbeda. Ai telah sangat menyakiti hati Roy sehingga sepertinya Roy terluka hanya dengan melihat Ai. Roy tidak tahu, hati Ai juga sakit. Tapi Ai tahu bahwa hanya Tuhan yang bisa membalut luka hatinya.

Berbulan-bulan berlalu, dan akhirnya Ai mengerti sepenuhnya apa maksud kakak pembinanya, dan apa maksud Tuhan buat hidup Ai. Ai menyadari bahwa selama ini ia belum benar-benar mengenal Roy, dan Roy yang ia kenal bukanlah yang Ai butuhkan untuk menjadi pasangan hidupnya. Lewat hubungannya dengan Roy, Ai jadi mengerti pria seperti apa yang ia butuhkan.

Bertahun-tahun berlalu, dan Ai menaruh fokusnya pada proses pembentukan Tuhan untuk hidupnya. Ai memandang hanya kepada Bapa. Ai menikmati waktu-waktu yang tak tergantikan dengan sahabat-sahabatnya, yang dulu sempat menjauh karena Ai dekat dengan Roy. Ai menikmati masa kuliahnya, masa mudanya, dengan hati yang murni. Tentunya, sambil berdoa bahwa Tuhan akan membawa pria yang tepat ke hadapannya, yang bisa melengkapi dirinya 100%. Tidak kurang dan tidak kompromi. Ai percaya yang terbaik akan Tuhan berikan.

Dalam hatinya yang paling dalam, Ai juga terus berdoa untuk Roy. Ai berdoa, dimanapun Roy berada, Tuhan terus berurusan dengan hidup Roy, dan pada akhirnya akan mempertemukan Roy dengan tulang rusuknya. Ai berdoa Roy akan menjadi pria yang dewasa, yang utuh dan kuat bagi pasangannya nanti.

Dan hari ini akhirnya datang. Ai turut bersukacita untuk Roy, yang Ai tahu telah mengalami beberapa kali kegagalan dalam hubungan. Kali ini, dengan wanita dengan siapa ia akan bersanding, Ai berharap Roy akan menemukan kebahagiaan yang sejati.

Ai memasukkan undangan di tangannya kembali ke amplopnya. Ia bersyukur, hari itu ia mengambil keputusan yang tepat. Ia bersyukur, ia telah diberi kesempatan untuk belajar dan ia telah lulus dalam ujian. Hatinya lega dan puas, karena telah melihat sendiri kasih setia Tuhan dalam hidupnya. Dan, Tuhan tidak pernah tidak adil. Apa yang Ai keluhkan 9 tahun yang lalu, ‘ketidakadilan’ yang Ai rasakan itu, membuat Ai lebih kuat dan lebih dewasa.

Terdengar suara pintu dibuka. Langkah-langkah kaki mendekat. Ai tersenyum saat merasakan dirinya dipeluk oleh lengan kuat suami yang sangat dicintainya. Pria yang adalah yang terbaik untuknya. Bukti rencana dan pemeliharaan Tuhan yang digenapi dalam hidupnya.

To find the right man, you must first be the right woman.

Rabu, 29 September 2010

Sukses = Seimbang

Di hari ulang tahun yang ke-25 ini gue merenung dan mencoba mengingat-ingat blue print gue. Harusnya sekarang ini gue udah mapan. Artinya, udah mantap dengan apa yang mau gue kerjakan dengan hidup gue. Dalam beberapa tahun ke depan gue harusnya sudah jadi orang sukses. Sipp!!

Tapi gue lalu mikir lagi, apa sih artinya jadi orang sukses? Hmmm.
Pas tadi siang ada temen yang bilang, "Hebat yah si ****, baru 30 tahun udah jadi dekan. Masi muda ud jadi org sukses."
Membuat gue jadi berpikir, apa itu berarti sukses tu diukur dari jabatan? Ato pendidikan? S2 ato S3? Ato materi? Punya banyak rumah dan mobil?

Manusia emang selalu butuh penghargaan. Akibatnya kita selalu berusaha mencari kesuksesan. Tapi, budaya kita lebih banyak mengajarkan dan mengarahkan untuk kita sukses di beberapa bidang tertentu saja, misalnya pekerjaan dan pendidikan. Bagaimana dengan bidang-bidang yang lain?

Gue menemukan bahwa bukan kesuksesan macam itu yang gue pengen. Bukan di satu aspek saja dalam hidup gue. Karena, orang yang sukses dalam bisnis atau pendidikan belum tentu juga berhasil dalam aspek-aspek lain hidupnya.

Gue, sebagai istri, sebagai ibu (nantinya), sebagai anak, sebagai kakak, sebagai sahabat, sebagai pekerja, dan sebagai-sebagai lainnya, punya segudang tanggung jawab. Dan tidak ada satu pun dari semua tanggung jawab itu yang bisa gue tawar-tawar. Gue ga bisa hanya berprestasi di pekerjaan tapi rumah gue kacau beliau. Dan gue gak bisa sukses menjaga kesehatan dan kecantikan, tapi ga peduli dengan kecerdasan emosional dan spiritual anak gue, atau hanya pentingin akademisnya aja.

All those responsibilities are parts of who I am. I can't be a full woman but a less mother, or a full businesswoman but a less daughter to my mother.

And yet I still have the options. Setiap orang bisa memilih 'orientasi'nya dalam hidup. Mau lebih dikenal sebagai apa? Fungsi mana yang mau diberi perhatian lebih?

Me, I want them all.

Jadi kuncinya adalah KESEIMBANGAN. Gue mau menaruh perhatian pada semua dan setiap tanggung jawab itu, sedetail mungkin dan sedalam mungkin, daripada menggunakan uang dan fasilitas yang ada untuk 'melepaskan diri' dari tanggung jawab yg gue malas lakukan, atau untuk memastikan gue ada di zona aman dan nyaman gue.

Mungkinkah bisa betul-betul seimbang? Mungkin tidak sekarang. Segala sesuatu ada waktunya dan ada hal-hal yang kita harus fokusi di masa-masa tertentu dalam hidup. Tapi gue mau tetep berusaha menyeimbangkan dengan sebaik mungkin. Supaya, mudah-mudahan, dalam waktu 20 tahun dari sekarang gue bisa melihat hidup gue mencapai 'full circle'.

Ga mau ada penyesalan, "Andai dulu gue lebih perhatian sama nyokap dan adek gue", atau "Andai gue ga terlalu banyak habisin waktu di kantor dan lebih banyak mencoba mengerti anak gue", dll. Gue mau, kalaupun pada akhirnya segala sesuatu tidak se-perfect yg gue mau, setidaknya gue udah berusaha yang terbaik.

Gue gak pengen dipuji dan dihargai banyak orang karena berhasil di (misalnya) pelayanan, tapi keluarga dan orang-orang terdekat gue dikecewakan oleh gue yang ga beri perhatian buat mereka.

Amsal 31:28 bilang tentang wanita yang bijak, "Anak-anaknya bangun, dan menyebutnya berbahagia, pula suaminya memuji dia: Banyak wanita telah berbuat baik, tetapi kau melebihi mereka semua."

Gue pengen orang-orang terdekat gue yang menyebut gue sukses, karena mereka yang tau seluruh aspek kehidupan gue, bukan hanya satu sisi saja. And that's what's important.

Karena hidup hanya sekali :)

~ Balance is the key of life. ~

Bukan Benar Atau Benar - Relationship, part 7

"Bukan benar atau salah yang penting respon."

Membangun hubungan, dan pernikahan, adalah masa yang paling memberi gue banyak kesempatan untuk betul-betul mempelajari arti power statement di atas.

Selama gue bertumbuh, seringkali gue berantem dengan nyokap yang memang adalah ortu gue satu-satunya. Alhasil kita jadi sering berantem dan most of the time ngeributin hal-hal yang sepele cuma karena kita beda pendapat. Secara nyokap orangnya suka ga mau kalah, gue yang sering ngalah. Supaya konflik ga berlarut-larut dan berpanjang-panjang. Inti pembicaraannya, selalu sama-sama berusaha buktiin bahwa kita yang bener. Gue berusaha buktiin gue yang bener, dan nyokap juga sama. 

Walopun akhirnya gue ngalah, tapi dalam hati gue selalu dengan pemikiran, "okay, whatever. Yang penting gue tahu gue bener." Dan tentunya, gue pun berusaha meminimalisasi keributan dgn sesedikit mungkin menghabiskan waktu berduaan dgn nyokap ataupun melibatkan dia dalam aktivitas-aktivitas gue.

Tapi ga bisa gitu kejadiannya dgn hubungan gue sm calon suami (yg sekarang ud jadi suami). He's 100% involved in everything I do, dan bukannya ga pernah kita beda pendapat ato beda interest.

Tapi there's something different with the way we resolve conflicts. Somehow lebih mudah dan ga pake tarik urat. Ga sama dgn pas gue berantem ama nyokap.

"Ya iyalah, dia kan pacarrr, bedalahh!! Lo kan sayang ama diaa!!"Apa itu berarti gue ga sayang ama nyokap gue? Kayanya ga dehhh... Dan lagi, believe me guys, setelah nikah rasanya elu sama pasangan lu itu seperti sahabat, temen, ato sodara. Biasa ajaaa, ga bergetar-getar gimanaa gitu. Dan banyak juga yang pacaran tapi berantemnya lebih heboh dari gue ama nyokap.

"Ya bedalahh, suami elo kan orangnya stabil, nyokap lo kan dominaan!!"Tapi di sini kejadiannya ga seperti yg elu org bayangkan: gue marah-marah, dia ngalah, gue dapetin apa yg gue mau, dia pasrah. Asli nggak kaya gitu.

Yang gue sadari adalah, ketika gue ribut sama dia, persoalannya BUKAN BENAR ATAU SALAH. Gue ga merasa perlu buktiin gue bener dan dia salah, karena kita dua-duanya bener. Koq bisa dua-duanya bener? Karena kita berdua sama-sama pengen yang terbaik buat kita, atau karena memang we're simply DIFFERENT. Kita punya cara yang berbeda dalam ngelakuin sesuatu atau memandang sesuatu, tapi ga ada yang salah dengan itu. I mean, kita emang beda kebiasaan ato cara naroh sikat gigi, dan sometimes itu jadi ribet, tapi it's not like gue ga mau sikat gigi or dia nyimpen sikat giginya di tempat sampah, yg baru bisa dibilang SALAH.

Yang gue sadarin adalah, I have his best interests at heart, and he does mine, too. Yang artinya, gue PEDULI dan memPRIORITASkan apa yg PENTING buat dia (not necessarily apa yg dia mau), karena gue mau kasi yang terbaik buat dia, karena gue sayang sama dia. Dan bener-bener jadinya ga penting buat gue mempertahankan 'kebenaran' gue, and it's very easy to give them up. Apalagi sampe 'ngambek', 'menyerang' dia dengan mengungkit hal yang lain-lain, or memarahi dia dengan kata-kata kasar, sama sekali ga terpikir di kepala gue. Tapi perlu diketahui juga, gue mengalahnya dengan sikap hati yang emang tulus, bukan seperti ketika gue ama nyokap, atau karena gue takut sama dia.

Jadi, kalo dia ga mo nemenin gue ke mall karena dia mo main basket, yg ga penting buat gue tapi penting buat dia, ga membuat dia jadi salah or jahat. Biasanya kalo kasus kaya gini kita jadinya malah ngalah-ngalahan. Dia rela ga main basket kalo menurut gue penting untuk ditemenin ke mall saat itu, dan gitu jg sebaliknya. Ada banyak hal yg gue belajar untuk 'let go', maksudnya ga semua hal harus sesuai cara dan maunya gue. Hanya hal-hal yang paling esensi aja yang harus bener-bener disepakati dan kita harus satu suara.

What I'm saying is, RESPON itu keluarnya dari HATI. Kalo elu bener-bener mengasihi orang itu dan ga pengen menyakiti dia, pasti ga akan susah untuk berkorban dan berespon benar. Anyway, menikah adalah BUNUH DIRI. Mati thd diri sendiri. If u realize and accept that, somehow it's easier to live with your spouse. Lagian, life's too short untuk dihabiskan dengan berantem kan?

Tapi kalo yang ada di hati lu adalah EGOIS, butuh pengakuan, butuh rasa berkuasa i.e. control freak, bakal susah tuh. Yang ada jadinya SALING MENYAKITI. Baik dengan kata-kata maupun dengan sikap (contoh: dingin/cuek, menghakimi). Dalam segala hal. Sesepele apapun. Imagine doing that and living in that kind of condition everyday for the next 50 years. You'd rather die. :)

So, mulailah dengan gak mengkotak-kotakkan segala sesuatu sebagai 'BENAR' atau 'SALAH'. Lanjutkan dengan HATI yang mengasihi tanpa syarat. Pasti akan tercipta RESPON yang benar.

Note: Walau pencerahan ini berhasil membantu gue untuk lebih positif terhadap nyokap, somehow ga semudah itu karena gue ga MATI buat nyokap (that's the difference between parent and spouse). Tapi gue sekarang menyadari bahwa ga da yang perlu dipertahankan dan ga da yang lebih 'benar'. We're simply different. I hope this knowledge will humble you as it did me.

Petuah Asmara Paling Dahsyat - Relationship, Part 6

Pada Bang Zaitun kami sampaikan rencana penjemputan Zakiah dan siasat menghadapi perempuan yang tengah dilanda bimbang. Bang Zaitun tercenung. Ia sedih karena teringat akan kisah cintanya yang bangkrut dan istri-istrinya yang minggat, matanya berair, tapi tetap saja sambil sedikit terisak, gigi palsu emas putihnya pun berkilau-kilau.

"Tak banyak yang bisa kubantu, Boi.." desahnya pasrah.
Kami diam menunggu.
"Pokoknya begini sajalah..."

Ia menerawang, menyarikan hikmah dari pengalaman buruknya.

"Jika kau berjumpa dengan Zakiah, tak perlulah banyak kata, Boi. Tak perlu banyak lagak, tak perlu bawa bunga segala. Cukup kautunjukkan raut muka bahwa kau bersedia menyuapinya nanti jika ia sakit, bersedia menggendongnya ke kamar mandi jika ia sudah renta tak mampu berjalan. Bahwa kau, dengan segenap hatimu, bersedia mengatakan di depannya betapa jelitanya ia, meski wajahnya sudah keriput seperti jeruk purut, dan kau bersedia tetap berada di situ, tak kemana-mana, di sampingnya selalu, selama empat puluh tahun sekalipun..."

Kawan, di antara riuh rendahnya ayam kawin, aku terkesima menyimak semua itu. Ini adalah petuah asmara paling dahsyat yang pernah kudengar seumur hidupku.

~Andrea Hirata, Maryamah Karpov~

Pria-pria, bisakah kau bayangkan raut muka bagaimana yang seperti itu?

Menurutku, hanya ada segelintir pria baik yang menunjukkan kesungguhan seperti demikian ketika mengajukan diri untuk menjadi seorang pasangan hidup bagi wanita a.k.a nembak.

Kebanyakan, hadir dengan menawarkan hal-hal yang lain. Ada yang bilang, "Nembak cewek ga cukup pake senyum doang. Minimal, butuh sertifikat rumah dan deposito."

Ada yang beranggapan, asalkan dirinya cukup tampan dan kekar, sedikit talented, bisa membuat bangga sang wanita, sudah cukup. 

Sebagian pria juga berpikir, yang wanita butuhkan hanya perasaan disayang dan diperhatikan. Asal setiap hari diperhatikan dan disayang, tak perlu banyak-banyak embel-embel ini dan itu, sudah bisa membahagiakan wanita. Apalagi dengan sedikit tindakan heroik dan janji-janji manis, "Aku pasti jaga kamu selalu." Praktis. Tak perlu punya uang banyak atau pekerjaan yang mapan. Biarpun uang buat traktir si dia nonton masih minta sama nyokap, yang penting dia bahagia.

Tahukah kau, hai pria-pria, bahwa 'nembak' bukan hanya sekedar mengucap kata dan mempresentasikan keberhasilanmu, fisik, materi, maupun prestasi?

Ketika kau 'nembak', kau sedang meminta seorang wanita untuk memberikan sebagian hatinya kepadamu. Kalau kau rakus, kau minta seluruhnya. Padahal, bagi seorang wanita gak mudah untuk bisa memberikan hatinya begitu saja. 

Ketika kau 'nembak', akibatnya terhadap si wanita tidak bisa dibandingkan dengan mencoba baju yang kalau sudah tidak cocok bisa ditaruh kembali ke dalam lemari. Si baju, seandainya bisa merasa, mungkin merasa dirinya second. Apalagi si wanita?? Bukan sekedar reputasi yang lagi kita bicarakan di sini, teman-teman. It's about the heart.

Ketika kau 'nembak', kau sebetulnya bertanggung jawab akan wanita itu sekarang dan selamanya seperti Adam bertanggung jawab terhadap Hawa, seakan-akan tidak ada lagi makhluk yang mampu menjaga dan melindungi makhluk halus bernama perempuan ini. (Walaupun, beberapa orang bilang, "Dogs are the most loyal animal. Men are nothing compared to them." Teman, buktikan pepatah itu salah.)

Ketika kau 'nembak', kau memberikan dirimu untuk menjadi satu-satunya Adam buat dirinya seperti kau menuntut dia untuk menjadi satu-satunya Hawa untuk dirimu. Dan hanya kau yang bisa dia andalkan, harapkan, percayai seratus persen, untuk dia bisa memberikan seluruh hatinya dan mempercayakan seluruh hidupnya kepadamu. 

Itu sebabnya, wanita perlu waktu untuk bisa dibentuk dan dipersiapkan oleh Bapa, supaya sempurna jadi Hawa-mu. Wanita perlu membenahi dirinya sendiri dulu sebelum bisa menjadi penolong yang sepadan untukmu. Semua itu bukan urusanmu, tapi urusan Bapa. Pada waktuNya, Ia akan menyatakan wanita ini siap dan memberikannya untukmu.

Jadi, kalau kau sudah 'nembak' sebelum waktunya? 
Kau sedang mencuri apa yang bukan hakmu. Kau sedang mencoba mencuri waktu berharganya untuk dibentuk oleh Tuhan, dan kau akan mendapat Hawa yang belum 'best quality'. Karena kau tidak sabar. 

Darimana kau bisa tahu kalau waktunya sudah tepat?
Bukan dengan menilai apakah wanita itu sudah cocok untukmu. Bukan dengan berpikir kau sudah bisa membuatnya bangga dan senang jadi pasanganmu. Bukan dengan menguji apakah wanita itu membalas perhatian-perhatian kecil yang kau lemparkan padanya sebagai 'coba-coba'. Ketika ia membalas perhatianmu, barulah kau akan 'nembak' karena yakin tak akan ditolak.

Sekali lagi, ketika kau memperhatikan dia, kau sedang meminta dia untuk mempercayaimu.

Dan ketika seorang wanita percaya sepenuhnya kepadamu, ia mengharapkanmu untuk "bersedia menyuapinya nanti jika ia sakit, bersedia menggendongnya ke kamar mandi jika ia sudah renta tak mampu berjalan. Bahwa kau, dengan segenap hatimu, bersedia mengatakan di depannya betapa jelitanya ia, meski wajahnya sudah keriput seperti jeruk purut, dan kau bersedia tetap berada di situ, tak kemana-mana, di sampingnya selalu, selama empat puluh tahun sekalipun."

Lebih dari ia mengharapkan fisik dan materimu.
Lebih dari ia mengharapkan perhatian dan janji manismu.
Lebih dari ia mengharapkan sentuhan dan pelukanmu.
Lebih dari ia 'suka' padamu, ia butuh kau untuk bisa ia 'ikuti'.

Teman, kau perlu melihat jauh ke depan. Bagaimana kau akan bisa menyuapinya nanti jika sekarang saja kau marah apabila ia tidak membuatkan kopi sesuai kemauanmu?
Bagaimana kau dapat mengatakan betapa jelitanya ia saat ia sudah keriput, apabila satu-satunya alasanmu untuk 'nembak' dia saat ini adalah karena dia cantik?
Bagaimana kau dapat menghidupi dia dan melindunginya, jika saat ini uang di dompetmu pun masih uang saku dari Mamamu?

Kapan waktu yang tepat?
Urusan antara kau dan Tuhan. Ikuti prosesnya, fokus pada sekolah kehidupan yang sedang kau lewati agar kau belajar dalam karakter dan kedewasaan. Kau perlu jadi pria sejati yang mempraktekkan kasih tanpa syarat, dan lebih penting lagi, tanpa ego. Biarkan Ia membentukmu untuk menjadi Adam yang siap mengemban tanggung jawab yang berat ini, yaitu memegang seluruh hati dan hidup makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna dan indah bernama wanita. 

Selamat berusaha, para Adam!