Minggu, 06 Februari 2011

Marriage 102: Life Witness

Why is it, do you think, that people get married?
Because we need a witness to our lives.
I mean, there’s a billion people on the planet.
What does any one life really mean?

But in a marriage, you’re promising
To care about everything –
The good things, the bad things,
The terrible things, the mundane things..
All of it.
All the time, everyday.

You’re saying,
“Your life will not go unnoticed,
Because I will notice it.
Your life will not go unwitnessed,
Because I will be your witness.”

~ Susan Sarandon in “Shall We Dance?” ~

Pernahkah membayangkan hidup tanpa menikah, tanpa keluarga? Hanya sendiri di dunia, sampai masa tua? Di hari pemakaman, apa yang akan orang katakan tentang hidup kita?

“Dia orang yang pintar, selalu punya banyak ide.”

“Dia orangnya setia, dia memegang apa yang dia katakan.”

“Dia orang yang selalu gigih dan pantang menyerah.”

Cukup bagus, tapi semua itu adalah apa yang dilihat dari luar, dari jauh. Dari orang-orang yang sekali-sekali bertemu. Dan saat hari pemakaman itu berlalu, tidak ada yang tahu pasti hal-hal yang terdalam dan intim tentang kita. Bagaimana kita saat menghadapi masalah? Apa kebiasaan kita di malam hari sebelum tidur? Apa film dan lagu favorit kita? Apa kebodohan yang pernah kita lakuin, dan apa cita-cita yang tersembunyi yang ga pernah tercapai?

Dengan kata lain, hidup berlalu begitu saja, tanpa ada yang mengetahui diri kita yang sesungguhnya.Itulah yang digambarkan si Susan Sarandon dalam kata-kata di atas. Apa sih arti dari hidup seorang manusia? Sia-sia, kata Pengkhotbah. Keturunan yang satu pergi dan keturunan yang lain datang, tetapi bumi tetap ada (Pengkh 1:4). Orang-orang terkenal, yang berhasil mengukir sejarah dan diingat sampai berabad-abad, hanyalah sepersekian dari 6 milyar orang yang hidup di bumi pada masa ini. Bagaimana dengan orang-orang yang biasa-biasa saja seperti kita? Satu pribadi yang hidupnya ga berdampak buat banyak orang dan akan dilupakan ketika kita meninggalkan dunia.

Yang membuat perbedaan, adalah ketika kita MENIKAH. Inilah yang menjadi salah satu prinsip dari pernikahan gue saat ini. Dengan menikah, gue menyatakan bahwa hidup pasangan gue gak akan berlalu begitu saja tanpa ada orang yang mengenali siapa dia sesungguhnya. Hidupnya gak akan dilupakan semudah itu, karena ada gue yang menjadi saksi buat hidupnya. Gue yang menjadi saksi saat dia bergumul, saat dia lemah, saat dia jatuh, saat dia berjuang, saat dia bangkit lagi, saat dia menang. Gue menjadi saksi kebodohan-kebodohan dan kebiasaan anehnya. Gue menjadi saksi karakternya yang buruk, dan gue menjadi saksi saat dia berubah menjadi lebih baik. Begitu juga dia terhadap gue. Sekarang gue yakin, ketika gue gak ada, atau bahkan ketika gue masih ada dan orang meragukan siapa diri gue sesungguhnya, gue gak perlu kuatir. Ada dia, saksi hidup gue.

Bagaimana caranya menjadi seorang ‘life witness’? Tidak semudah “berada di TKP pada saat kejadian berlangsung”. Bukan hanya sekedar itu. Kamu harus PEDULI. Peduli akan hal-hal yang baik, hal-hal yang buruk, hal-hal yang terburuk, bahkan hal-hal yang rutin dan membosankan dan tidak menarik. Peduli dengan pergumulan dan situasi keuangan terburuk yang dialami suamimu, menjadi kekuatan baginya dan mau bersama mencari solusinya – bukannya menyalahkan dan lari dari masalah. Peduli dengan hal-hal sederhana yang menjadi keunikannya – bahwa dia tidak suka nasi uduk dan emping, misalnya. Peduli dengan apa yang ingin dia ceritakan tentang pekerjaannya – seberapapun membosankan hal itu.

Kalau kamu sungguh-sungguh dengan janji nikahmu, semua ini gak akan sulit buatmu. Karena dalam janji nikahmu terkandung semua esensi dari pernikahan – untuk selalu bersama-sama, untuk selalu peduli akan segala hal yang terjadi, entah itu hal yang besar seperti memutuskan rumah mana yang ingin dibeli, atau ketika anak sakit parah dan dirawat di rumah sakit, sampai hal yang sepele seperti siapa yang akan membuang sampah, dan bagaimana sebaiknya cara menaruh odol yang baik. Jika di masa singlemu kamu melakukan segala sesuatu sendiri tanpa harus memikirkan pendapat orang lain, maka sebaiknya kamu mulai membiasakan diri untuk membuka ruang untuk orang lain peduli akan hidupmu, dan dalam segala sesuatu. Bukan yang penting-penting saja yang kau ijinkan pasanganmu berperan. Tapi sampai ke hal pribadi dan sederhana, serta hal-hal yang kau tidak nyaman membicarakannya. That’s marriage!

Mengetahui bahwa hidupmu berarti bagi orang lain, adalah kekuatan yang membuat engkau terus berjuang dan berharap.

“Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” ~Matius 19:6~



Jumat, 04 Februari 2011

Marriage 101: Expect The Expected

Yap betul sekali, bukan expect the unexpected. Kenapa?? Karena kadang kita membuat harapan yang palsu dan muluk-muluk soal pernikahan. Contoh? "Hmm, gak apa-apalah sekarang ga bisa masak, nanti kalo udah nikah juga bisa." Atau, "Gak apa-apalah kalo sekarang dia kerjaannya nonton TV mulu, nanti kalo udah nikah juga nggak."

You know what? Semua itu adalah reasoning-nya kamu untuk melakukan pembenaran terhadap hal-hal yang sebenarnya kamu gak suka dari pasanganmu. Well, semua itu memang wajar-wajar saja dan memang biasa terjadi. Tapiiiii, semua itu membuat gambaran kita tentang pernikahan jadi BLUR. (baca: buram, cenderung mengawang-awang, gak nginjak bumi, dan dengan sedikit sentuhan kartunis, berwarna-warna indah dengan binatang-binatang yang menari dan bernyanyi sementara kamu dan pasanganmu berdansa dan berbaju indah)

Well guess what: NO SURPRISE!!! Yang artinya, apa yang terjadi di kehidupan sebelum nikah akan terjadi juga di kehidupan setelah nikah. Kalo dulu dia males, setelah nikah juga dia males! Kalo dulu dia gak bisa masak, dia gak akan magically langsung bisa masak setelah nikah!

Itu contoh-contoh yang biasa-biasa aja. Tapi what makes me sad is, kadang ada orang-orang yang punya reasoning yang jauh lebih dalam dari itu.

"Setelah nikah, dia gak akan ngelirik cewek lain." Teman, kalo dia ga menganggap kamulah satu-satunya sejak masa pranikah, kamu gak akan dengan instant jadi satu-satunya wanita dalam hidupnya setelah nikah.

"Setelah nikah, dia gak akan marah-marah sambil membanting barang lagi." Teman, lebih baik jangan ada barang pecah belah dalam perabot rumah tanggamu.

"Setelah nikah, dia pasti akan sayang sama Mamaku dan ga akan memaksa aku memilih antara dia dan Mama." Teman, setelah nikah dia masih tetap akan memaksamu memilih antara dia dan Mama. Sayangnya, setelah nikah kamu harus memilih dia dan kalau dia menjadikan itu sebagai senjatanya, lebih baik kamu say good-bye dulu sama masakan Mamamu yang tiada duanya.

"Setelah nikah, dia gak akan merendahkan dan membentak-bentak aku dengan kata-kata kasar lagi. Apalagi setelah aku mengandung anaknya." Teman, kalau sebelum nikah aja dia gak bisa menghargai kamu, jangan harap dia akan tiba-tiba menghargai kamu dan ga lagi menuntut ini itu dari kamu, apalagi setelah dia tau kekuranganmu yang berikutnya: bahwa kentutmu bau. (contoh dari berbagai kelemahan yang baru terbuka setelah nikah). Dan gimana kalo kamu ternyata ga bisa kasih dia anak laki-laki seperti yang dia mau?

"Setelah nikah, dia gak akan mengungkit yang lalu-lalu lagi waktu kita lagi konflik. Setelah nikah kan lembaran yang baru? Pastinya dia gak akan ngeluarin lagi kartu-kartu mati gue yang dia pegang itu. Mungkin bahkan kita gak akan sering konflik seperti sekarang setelah nikah." Teman, ada begitu banyak hal yang bisa jadi pemicu konflik setelah nikah. Dan lebih banyak lagi kartu-kartumu yang akan dia gunakan sebagai senjata.

"Setelah nikah, dia gak akan cemburuan dan melarang aku pergi sama teman-temanku lagi," Teman, sebaiknya kamu siap-siap beli binatang peliharaan untuk menemanimu.

"Setelah nikah, dia pasti akan mau mengikuti gaya hidup aku yang sederhana. Gak ada pilihan lain kan?" Teman, selalu ada pilihan. Kalau dari sebelum nikah dia sudah bilang gak mau hidup susah, hmmm, she might have to learn it the hard way. Dan itupun gak menjamin dia akan bertahan.

"Setelah nikah, dia gak akan membohongi aku lagi dan gak akan berselingkuh lagi." Teman, it is your choice. Gak ada kepastian akan hal itu, dan kalau dia kembali berselingkuh, itu SALIB YANG HARUS KAMU PIKUL.

What I'm saying is, mengapa banyak dari kita adalah orang-orang bodoh yang membohongi diri sendiri dengan begitu banyak pembenaran, penghiburan dari rasa tertekan kita? Mengapa banyak dari kita terus menerus berkata, "Dia akan jadi orang yang berbeda setelah nikah, seperti aku juga akan jadi orang yang berbeda setelah nikah." Kenyataannya, kita (dan mudah-mudahan dia) akan menjadi orang yang berbeda, kira-kira dua tahun, lima tahun, atau sepuluh tahun setelah menikah. Setelah kita melewati masa-masa penuh kekecewaan, sakit hati, kesedihan, kemarahan, keputusasaan.

Dan ternyata setelah sekian lama waktu berlalu, mungkin kita tetap tidak berubah. Yang berubah adalah cara berpikir kita. Pasrah karena sudah tidak ada yang bisa dilakukan, menerima karena memang harus diterima. Dan pada saat itu, mungkin hubungan kita sudah menjadi dingin, dan hari-hari dijalani seperti tidak ada lagi kepercayaan dan pengharapan.

Bukannya mau bilang bahwa orang gak bisa berubah. BISA BANGET. Tapi, alangkah lebih baiknya kalau kita tidak memulai dengan awal yang salah. Alangkah lebih baiknya kalau dari awal, kita berhenti membohongi diri sendiri dan bertanya, "Kalau dia tidak berubah sampai selama-lamanya, siapkah saya hidup dengan itu (baca: kemalasannya, kecemburuannya, kebiasaannya selingkuh, dll)?"

Kalau jawabannya tidak, jangan coba untuk melangkah lebih jauh.
Kalau jawabannya ya, ingatlah bahwa itu salib yang harus kau pikul.
Daaannn, jangan pernah berpikir bahwa kamu sedang memberinya kesempatan kedua saat kamu menikahinya. Tidak akan pernah ada kesempatan ketiga dan seterusnya. Turn your back on him/her now, OR NEVER.


Teman, saya bukan orang yang sempurna. Saya mengecewakan dan tidak dapat memenuhi pengharapan suami saya. Tapi saya tahu dia mengasihi saya dan sudah memutuskan untuk hidup bersama saya walau saya tidak berubah sampai selama-lamanya.

Yang menarik dari hal ini adalah, karena saya tahu hal itu, saya jadi ingin berubah. Saya ingin berusaha, walaupun sulit, karena saya mengasihinya dan ingin menyenangkan hatinya. Kelemahan saya tidak pernah menjadi konflik di antara kami karena saya tahu dia tidak menuntut. Saya ingin berubah karena itu adalah bukti bahwa saya mengasihi dia, dan karena dia berkata,

"Saya mau menjadi saksi hidup bahwa kamu bisa berubah dan saya mau menjadi saksi mengenai bagaimana kamu berubah."

More on that later.

Rabu, 06 Oktober 2010

Kisah Si Wanita Bodoh (2). Relationship, Part 8

(Bagi yang belum baca Kisah Si Wanita Bodoh (1), baca dulu ya)

Ai membolak-balik undangan berwarna keemasan di tangannya. Sederhana, namun cukup elegan. Ia kembali membaca nama yang tertera di sana. Roy dan Maya.

Pikiran Ai kembali ke 9 tahun yang lalu. Kenangan yang menyakitkan sekaligus menghangatkan hati. Menyakitkan, jika mengingat rasa hatinya saat itu. Menghangatkan, karena Ai tahu bahwa apa yang terjadi saat itu berperan besar dalam membuat Ai jadi seperti sekarang. Wanita yang utuh dan bahagia.

Hari itu, Ai memutuskan untuk taat walau Ai tidak mengerti sepenuhnya. Ia memutuskan untuk menyerahkan masa depannya pada Tuhan dan melepaskan keinginan hatinya.

Percakapan telepon itu sangat menyayat hati. Ai menangis. Roy juga. Ai berterima kasih untuk kesempatannya boleh mengenal Roy lebih dekat. Tapi Ai tidak ingin mengikat Roy lagi dengan perasaannya, membuat Roy tidak bisa berfokus pada proses Tuhan buat hidupnya sebagai pria. Roy masih berusaha meyakinkan Ai bahwa Ai sama sekali bukan hambatan bagi hidupnya. Bahwa Roy masih dan akan selalu menyayangi Ai. Bahwa Roy tidak mau kehilangan Ai.

Tapi hari itu Ai memantapkan hatinya. Ai melepaskan Roy dan perasaannya padanya. Ai tahu ia akan merindukan Roy dan perhatiannya, dan persahabatan mereka. Tapi Ai mau berserah pada Bapa di Surga. Ia ingin dibentuk menjadi wanita yang utuh dan sempurna terlebih dahulu sebelum nantinya ia akan menjadi pendamping bagi seseorang yang diciptakan Tuhan untuknya. Mungkin itu Roy. Mungkin juga bukan. Ai berserah.

Hari-hari berikutnya sangat berat bagi Ai. Adakalanya Roy tiba-tiba mengirimkan sms, mengatakan ia masih menyayangi Ai. Tapi Ai tidak bergeming. Ia ingin tetap bertahan pada keputusannya, dan berharap Roy akan mengerti dan menerima keputusan Ai. Kemudian Roy menjauhinya dan seakan-akan menjadi orang yang berbeda. Ai telah sangat menyakiti hati Roy sehingga sepertinya Roy terluka hanya dengan melihat Ai. Roy tidak tahu, hati Ai juga sakit. Tapi Ai tahu bahwa hanya Tuhan yang bisa membalut luka hatinya.

Berbulan-bulan berlalu, dan akhirnya Ai mengerti sepenuhnya apa maksud kakak pembinanya, dan apa maksud Tuhan buat hidup Ai. Ai menyadari bahwa selama ini ia belum benar-benar mengenal Roy, dan Roy yang ia kenal bukanlah yang Ai butuhkan untuk menjadi pasangan hidupnya. Lewat hubungannya dengan Roy, Ai jadi mengerti pria seperti apa yang ia butuhkan.

Bertahun-tahun berlalu, dan Ai menaruh fokusnya pada proses pembentukan Tuhan untuk hidupnya. Ai memandang hanya kepada Bapa. Ai menikmati waktu-waktu yang tak tergantikan dengan sahabat-sahabatnya, yang dulu sempat menjauh karena Ai dekat dengan Roy. Ai menikmati masa kuliahnya, masa mudanya, dengan hati yang murni. Tentunya, sambil berdoa bahwa Tuhan akan membawa pria yang tepat ke hadapannya, yang bisa melengkapi dirinya 100%. Tidak kurang dan tidak kompromi. Ai percaya yang terbaik akan Tuhan berikan.

Dalam hatinya yang paling dalam, Ai juga terus berdoa untuk Roy. Ai berdoa, dimanapun Roy berada, Tuhan terus berurusan dengan hidup Roy, dan pada akhirnya akan mempertemukan Roy dengan tulang rusuknya. Ai berdoa Roy akan menjadi pria yang dewasa, yang utuh dan kuat bagi pasangannya nanti.

Dan hari ini akhirnya datang. Ai turut bersukacita untuk Roy, yang Ai tahu telah mengalami beberapa kali kegagalan dalam hubungan. Kali ini, dengan wanita dengan siapa ia akan bersanding, Ai berharap Roy akan menemukan kebahagiaan yang sejati.

Ai memasukkan undangan di tangannya kembali ke amplopnya. Ia bersyukur, hari itu ia mengambil keputusan yang tepat. Ia bersyukur, ia telah diberi kesempatan untuk belajar dan ia telah lulus dalam ujian. Hatinya lega dan puas, karena telah melihat sendiri kasih setia Tuhan dalam hidupnya. Dan, Tuhan tidak pernah tidak adil. Apa yang Ai keluhkan 9 tahun yang lalu, ‘ketidakadilan’ yang Ai rasakan itu, membuat Ai lebih kuat dan lebih dewasa.

Terdengar suara pintu dibuka. Langkah-langkah kaki mendekat. Ai tersenyum saat merasakan dirinya dipeluk oleh lengan kuat suami yang sangat dicintainya. Pria yang adalah yang terbaik untuknya. Bukti rencana dan pemeliharaan Tuhan yang digenapi dalam hidupnya.

To find the right man, you must first be the right woman.

Rabu, 29 September 2010

Sukses = Seimbang

Di hari ulang tahun yang ke-25 ini gue merenung dan mencoba mengingat-ingat blue print gue. Harusnya sekarang ini gue udah mapan. Artinya, udah mantap dengan apa yang mau gue kerjakan dengan hidup gue. Dalam beberapa tahun ke depan gue harusnya sudah jadi orang sukses. Sipp!!

Tapi gue lalu mikir lagi, apa sih artinya jadi orang sukses? Hmmm.
Pas tadi siang ada temen yang bilang, "Hebat yah si ****, baru 30 tahun udah jadi dekan. Masi muda ud jadi org sukses."
Membuat gue jadi berpikir, apa itu berarti sukses tu diukur dari jabatan? Ato pendidikan? S2 ato S3? Ato materi? Punya banyak rumah dan mobil?

Manusia emang selalu butuh penghargaan. Akibatnya kita selalu berusaha mencari kesuksesan. Tapi, budaya kita lebih banyak mengajarkan dan mengarahkan untuk kita sukses di beberapa bidang tertentu saja, misalnya pekerjaan dan pendidikan. Bagaimana dengan bidang-bidang yang lain?

Gue menemukan bahwa bukan kesuksesan macam itu yang gue pengen. Bukan di satu aspek saja dalam hidup gue. Karena, orang yang sukses dalam bisnis atau pendidikan belum tentu juga berhasil dalam aspek-aspek lain hidupnya.

Gue, sebagai istri, sebagai ibu (nantinya), sebagai anak, sebagai kakak, sebagai sahabat, sebagai pekerja, dan sebagai-sebagai lainnya, punya segudang tanggung jawab. Dan tidak ada satu pun dari semua tanggung jawab itu yang bisa gue tawar-tawar. Gue ga bisa hanya berprestasi di pekerjaan tapi rumah gue kacau beliau. Dan gue gak bisa sukses menjaga kesehatan dan kecantikan, tapi ga peduli dengan kecerdasan emosional dan spiritual anak gue, atau hanya pentingin akademisnya aja.

All those responsibilities are parts of who I am. I can't be a full woman but a less mother, or a full businesswoman but a less daughter to my mother.

And yet I still have the options. Setiap orang bisa memilih 'orientasi'nya dalam hidup. Mau lebih dikenal sebagai apa? Fungsi mana yang mau diberi perhatian lebih?

Me, I want them all.

Jadi kuncinya adalah KESEIMBANGAN. Gue mau menaruh perhatian pada semua dan setiap tanggung jawab itu, sedetail mungkin dan sedalam mungkin, daripada menggunakan uang dan fasilitas yang ada untuk 'melepaskan diri' dari tanggung jawab yg gue malas lakukan, atau untuk memastikan gue ada di zona aman dan nyaman gue.

Mungkinkah bisa betul-betul seimbang? Mungkin tidak sekarang. Segala sesuatu ada waktunya dan ada hal-hal yang kita harus fokusi di masa-masa tertentu dalam hidup. Tapi gue mau tetep berusaha menyeimbangkan dengan sebaik mungkin. Supaya, mudah-mudahan, dalam waktu 20 tahun dari sekarang gue bisa melihat hidup gue mencapai 'full circle'.

Ga mau ada penyesalan, "Andai dulu gue lebih perhatian sama nyokap dan adek gue", atau "Andai gue ga terlalu banyak habisin waktu di kantor dan lebih banyak mencoba mengerti anak gue", dll. Gue mau, kalaupun pada akhirnya segala sesuatu tidak se-perfect yg gue mau, setidaknya gue udah berusaha yang terbaik.

Gue gak pengen dipuji dan dihargai banyak orang karena berhasil di (misalnya) pelayanan, tapi keluarga dan orang-orang terdekat gue dikecewakan oleh gue yang ga beri perhatian buat mereka.

Amsal 31:28 bilang tentang wanita yang bijak, "Anak-anaknya bangun, dan menyebutnya berbahagia, pula suaminya memuji dia: Banyak wanita telah berbuat baik, tetapi kau melebihi mereka semua."

Gue pengen orang-orang terdekat gue yang menyebut gue sukses, karena mereka yang tau seluruh aspek kehidupan gue, bukan hanya satu sisi saja. And that's what's important.

Karena hidup hanya sekali :)

~ Balance is the key of life. ~

Bukan Benar Atau Benar - Relationship, part 7

"Bukan benar atau salah yang penting respon."

Membangun hubungan, dan pernikahan, adalah masa yang paling memberi gue banyak kesempatan untuk betul-betul mempelajari arti power statement di atas.

Selama gue bertumbuh, seringkali gue berantem dengan nyokap yang memang adalah ortu gue satu-satunya. Alhasil kita jadi sering berantem dan most of the time ngeributin hal-hal yang sepele cuma karena kita beda pendapat. Secara nyokap orangnya suka ga mau kalah, gue yang sering ngalah. Supaya konflik ga berlarut-larut dan berpanjang-panjang. Inti pembicaraannya, selalu sama-sama berusaha buktiin bahwa kita yang bener. Gue berusaha buktiin gue yang bener, dan nyokap juga sama. 

Walopun akhirnya gue ngalah, tapi dalam hati gue selalu dengan pemikiran, "okay, whatever. Yang penting gue tahu gue bener." Dan tentunya, gue pun berusaha meminimalisasi keributan dgn sesedikit mungkin menghabiskan waktu berduaan dgn nyokap ataupun melibatkan dia dalam aktivitas-aktivitas gue.

Tapi ga bisa gitu kejadiannya dgn hubungan gue sm calon suami (yg sekarang ud jadi suami). He's 100% involved in everything I do, dan bukannya ga pernah kita beda pendapat ato beda interest.

Tapi there's something different with the way we resolve conflicts. Somehow lebih mudah dan ga pake tarik urat. Ga sama dgn pas gue berantem ama nyokap.

"Ya iyalah, dia kan pacarrr, bedalahh!! Lo kan sayang ama diaa!!"Apa itu berarti gue ga sayang ama nyokap gue? Kayanya ga dehhh... Dan lagi, believe me guys, setelah nikah rasanya elu sama pasangan lu itu seperti sahabat, temen, ato sodara. Biasa ajaaa, ga bergetar-getar gimanaa gitu. Dan banyak juga yang pacaran tapi berantemnya lebih heboh dari gue ama nyokap.

"Ya bedalahh, suami elo kan orangnya stabil, nyokap lo kan dominaan!!"Tapi di sini kejadiannya ga seperti yg elu org bayangkan: gue marah-marah, dia ngalah, gue dapetin apa yg gue mau, dia pasrah. Asli nggak kaya gitu.

Yang gue sadari adalah, ketika gue ribut sama dia, persoalannya BUKAN BENAR ATAU SALAH. Gue ga merasa perlu buktiin gue bener dan dia salah, karena kita dua-duanya bener. Koq bisa dua-duanya bener? Karena kita berdua sama-sama pengen yang terbaik buat kita, atau karena memang we're simply DIFFERENT. Kita punya cara yang berbeda dalam ngelakuin sesuatu atau memandang sesuatu, tapi ga ada yang salah dengan itu. I mean, kita emang beda kebiasaan ato cara naroh sikat gigi, dan sometimes itu jadi ribet, tapi it's not like gue ga mau sikat gigi or dia nyimpen sikat giginya di tempat sampah, yg baru bisa dibilang SALAH.

Yang gue sadarin adalah, I have his best interests at heart, and he does mine, too. Yang artinya, gue PEDULI dan memPRIORITASkan apa yg PENTING buat dia (not necessarily apa yg dia mau), karena gue mau kasi yang terbaik buat dia, karena gue sayang sama dia. Dan bener-bener jadinya ga penting buat gue mempertahankan 'kebenaran' gue, and it's very easy to give them up. Apalagi sampe 'ngambek', 'menyerang' dia dengan mengungkit hal yang lain-lain, or memarahi dia dengan kata-kata kasar, sama sekali ga terpikir di kepala gue. Tapi perlu diketahui juga, gue mengalahnya dengan sikap hati yang emang tulus, bukan seperti ketika gue ama nyokap, atau karena gue takut sama dia.

Jadi, kalo dia ga mo nemenin gue ke mall karena dia mo main basket, yg ga penting buat gue tapi penting buat dia, ga membuat dia jadi salah or jahat. Biasanya kalo kasus kaya gini kita jadinya malah ngalah-ngalahan. Dia rela ga main basket kalo menurut gue penting untuk ditemenin ke mall saat itu, dan gitu jg sebaliknya. Ada banyak hal yg gue belajar untuk 'let go', maksudnya ga semua hal harus sesuai cara dan maunya gue. Hanya hal-hal yang paling esensi aja yang harus bener-bener disepakati dan kita harus satu suara.

What I'm saying is, RESPON itu keluarnya dari HATI. Kalo elu bener-bener mengasihi orang itu dan ga pengen menyakiti dia, pasti ga akan susah untuk berkorban dan berespon benar. Anyway, menikah adalah BUNUH DIRI. Mati thd diri sendiri. If u realize and accept that, somehow it's easier to live with your spouse. Lagian, life's too short untuk dihabiskan dengan berantem kan?

Tapi kalo yang ada di hati lu adalah EGOIS, butuh pengakuan, butuh rasa berkuasa i.e. control freak, bakal susah tuh. Yang ada jadinya SALING MENYAKITI. Baik dengan kata-kata maupun dengan sikap (contoh: dingin/cuek, menghakimi). Dalam segala hal. Sesepele apapun. Imagine doing that and living in that kind of condition everyday for the next 50 years. You'd rather die. :)

So, mulailah dengan gak mengkotak-kotakkan segala sesuatu sebagai 'BENAR' atau 'SALAH'. Lanjutkan dengan HATI yang mengasihi tanpa syarat. Pasti akan tercipta RESPON yang benar.

Note: Walau pencerahan ini berhasil membantu gue untuk lebih positif terhadap nyokap, somehow ga semudah itu karena gue ga MATI buat nyokap (that's the difference between parent and spouse). Tapi gue sekarang menyadari bahwa ga da yang perlu dipertahankan dan ga da yang lebih 'benar'. We're simply different. I hope this knowledge will humble you as it did me.

Petuah Asmara Paling Dahsyat - Relationship, Part 6

Pada Bang Zaitun kami sampaikan rencana penjemputan Zakiah dan siasat menghadapi perempuan yang tengah dilanda bimbang. Bang Zaitun tercenung. Ia sedih karena teringat akan kisah cintanya yang bangkrut dan istri-istrinya yang minggat, matanya berair, tapi tetap saja sambil sedikit terisak, gigi palsu emas putihnya pun berkilau-kilau.

"Tak banyak yang bisa kubantu, Boi.." desahnya pasrah.
Kami diam menunggu.
"Pokoknya begini sajalah..."

Ia menerawang, menyarikan hikmah dari pengalaman buruknya.

"Jika kau berjumpa dengan Zakiah, tak perlulah banyak kata, Boi. Tak perlu banyak lagak, tak perlu bawa bunga segala. Cukup kautunjukkan raut muka bahwa kau bersedia menyuapinya nanti jika ia sakit, bersedia menggendongnya ke kamar mandi jika ia sudah renta tak mampu berjalan. Bahwa kau, dengan segenap hatimu, bersedia mengatakan di depannya betapa jelitanya ia, meski wajahnya sudah keriput seperti jeruk purut, dan kau bersedia tetap berada di situ, tak kemana-mana, di sampingnya selalu, selama empat puluh tahun sekalipun..."

Kawan, di antara riuh rendahnya ayam kawin, aku terkesima menyimak semua itu. Ini adalah petuah asmara paling dahsyat yang pernah kudengar seumur hidupku.

~Andrea Hirata, Maryamah Karpov~

Pria-pria, bisakah kau bayangkan raut muka bagaimana yang seperti itu?

Menurutku, hanya ada segelintir pria baik yang menunjukkan kesungguhan seperti demikian ketika mengajukan diri untuk menjadi seorang pasangan hidup bagi wanita a.k.a nembak.

Kebanyakan, hadir dengan menawarkan hal-hal yang lain. Ada yang bilang, "Nembak cewek ga cukup pake senyum doang. Minimal, butuh sertifikat rumah dan deposito."

Ada yang beranggapan, asalkan dirinya cukup tampan dan kekar, sedikit talented, bisa membuat bangga sang wanita, sudah cukup. 

Sebagian pria juga berpikir, yang wanita butuhkan hanya perasaan disayang dan diperhatikan. Asal setiap hari diperhatikan dan disayang, tak perlu banyak-banyak embel-embel ini dan itu, sudah bisa membahagiakan wanita. Apalagi dengan sedikit tindakan heroik dan janji-janji manis, "Aku pasti jaga kamu selalu." Praktis. Tak perlu punya uang banyak atau pekerjaan yang mapan. Biarpun uang buat traktir si dia nonton masih minta sama nyokap, yang penting dia bahagia.

Tahukah kau, hai pria-pria, bahwa 'nembak' bukan hanya sekedar mengucap kata dan mempresentasikan keberhasilanmu, fisik, materi, maupun prestasi?

Ketika kau 'nembak', kau sedang meminta seorang wanita untuk memberikan sebagian hatinya kepadamu. Kalau kau rakus, kau minta seluruhnya. Padahal, bagi seorang wanita gak mudah untuk bisa memberikan hatinya begitu saja. 

Ketika kau 'nembak', akibatnya terhadap si wanita tidak bisa dibandingkan dengan mencoba baju yang kalau sudah tidak cocok bisa ditaruh kembali ke dalam lemari. Si baju, seandainya bisa merasa, mungkin merasa dirinya second. Apalagi si wanita?? Bukan sekedar reputasi yang lagi kita bicarakan di sini, teman-teman. It's about the heart.

Ketika kau 'nembak', kau sebetulnya bertanggung jawab akan wanita itu sekarang dan selamanya seperti Adam bertanggung jawab terhadap Hawa, seakan-akan tidak ada lagi makhluk yang mampu menjaga dan melindungi makhluk halus bernama perempuan ini. (Walaupun, beberapa orang bilang, "Dogs are the most loyal animal. Men are nothing compared to them." Teman, buktikan pepatah itu salah.)

Ketika kau 'nembak', kau memberikan dirimu untuk menjadi satu-satunya Adam buat dirinya seperti kau menuntut dia untuk menjadi satu-satunya Hawa untuk dirimu. Dan hanya kau yang bisa dia andalkan, harapkan, percayai seratus persen, untuk dia bisa memberikan seluruh hatinya dan mempercayakan seluruh hidupnya kepadamu. 

Itu sebabnya, wanita perlu waktu untuk bisa dibentuk dan dipersiapkan oleh Bapa, supaya sempurna jadi Hawa-mu. Wanita perlu membenahi dirinya sendiri dulu sebelum bisa menjadi penolong yang sepadan untukmu. Semua itu bukan urusanmu, tapi urusan Bapa. Pada waktuNya, Ia akan menyatakan wanita ini siap dan memberikannya untukmu.

Jadi, kalau kau sudah 'nembak' sebelum waktunya? 
Kau sedang mencuri apa yang bukan hakmu. Kau sedang mencoba mencuri waktu berharganya untuk dibentuk oleh Tuhan, dan kau akan mendapat Hawa yang belum 'best quality'. Karena kau tidak sabar. 

Darimana kau bisa tahu kalau waktunya sudah tepat?
Bukan dengan menilai apakah wanita itu sudah cocok untukmu. Bukan dengan berpikir kau sudah bisa membuatnya bangga dan senang jadi pasanganmu. Bukan dengan menguji apakah wanita itu membalas perhatian-perhatian kecil yang kau lemparkan padanya sebagai 'coba-coba'. Ketika ia membalas perhatianmu, barulah kau akan 'nembak' karena yakin tak akan ditolak.

Sekali lagi, ketika kau memperhatikan dia, kau sedang meminta dia untuk mempercayaimu.

Dan ketika seorang wanita percaya sepenuhnya kepadamu, ia mengharapkanmu untuk "bersedia menyuapinya nanti jika ia sakit, bersedia menggendongnya ke kamar mandi jika ia sudah renta tak mampu berjalan. Bahwa kau, dengan segenap hatimu, bersedia mengatakan di depannya betapa jelitanya ia, meski wajahnya sudah keriput seperti jeruk purut, dan kau bersedia tetap berada di situ, tak kemana-mana, di sampingnya selalu, selama empat puluh tahun sekalipun."

Lebih dari ia mengharapkan fisik dan materimu.
Lebih dari ia mengharapkan perhatian dan janji manismu.
Lebih dari ia mengharapkan sentuhan dan pelukanmu.
Lebih dari ia 'suka' padamu, ia butuh kau untuk bisa ia 'ikuti'.

Teman, kau perlu melihat jauh ke depan. Bagaimana kau akan bisa menyuapinya nanti jika sekarang saja kau marah apabila ia tidak membuatkan kopi sesuai kemauanmu?
Bagaimana kau dapat mengatakan betapa jelitanya ia saat ia sudah keriput, apabila satu-satunya alasanmu untuk 'nembak' dia saat ini adalah karena dia cantik?
Bagaimana kau dapat menghidupi dia dan melindunginya, jika saat ini uang di dompetmu pun masih uang saku dari Mamamu?

Kapan waktu yang tepat?
Urusan antara kau dan Tuhan. Ikuti prosesnya, fokus pada sekolah kehidupan yang sedang kau lewati agar kau belajar dalam karakter dan kedewasaan. Kau perlu jadi pria sejati yang mempraktekkan kasih tanpa syarat, dan lebih penting lagi, tanpa ego. Biarkan Ia membentukmu untuk menjadi Adam yang siap mengemban tanggung jawab yang berat ini, yaitu memegang seluruh hati dan hidup makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna dan indah bernama wanita. 

Selamat berusaha, para Adam!

Masa single: Baik digunakan sebelum September 2015. Relationship, Part 5

pa sih arti singleness? Pilih satu coret yang tidak perlu. 

a. Masa peralihan di antara masa kanak-anak dengan masa keistrian. Selama belum jadi istri berarti masih single, walaupun berpacar. Aktivitas: Seperti remaja pada umumnya, menikmati masa muda. Berpacaran sana-sini dan menunggu umur cukup dewasa. Hanya menanti dipinang. 

b. Kondisi jomblo. Baik belom bersuami, belom berpacar, maupun ditinggal mati atau dicerai (Maksudnya, kalo punya pacar berarti tidak single, red.). Aktivitas: Tidak berpacaran tapi banyak ber-HTSan, sambil mencari jodoh untuk mengakhiri singleness atau bahkan jodohnya sudah ketemu, hanya ber-HTS supaya tetap ‘single’ sekedar menunggu waktu yg dibilang cukup dewasa untuk menikah. 

c. Status belom kawin di KTP, tapi sudah cukup umur, available, sedang aktif mencari. Aktivitas: Beberapa kali menjalin hubungan serius namun belum cukup serius sehingga mengubah status di KTP. 

d. Masa yang dimulai begitu mulai puber dan mengenal pria, masa yang sangat berharga untuk wanita. Tidak ada hubungannya dengan mencari jodoh. Fokus: Pembentukan Tuhan untuk diri sendiri sebagai wanita. Aktivitas: Menjaga hati tetap murni dan hidup benar di hadapan Tuhan. 

Singleness is a gift. (Masa sih??? Koq gw ga habis-habisnya bertanya-tanya kapan gw gak single lagi????) 

Banyak orang berpikir status single hanyalah batu loncatan sebelum sampai pada hakikat seorang wanita: menjadi istri dan ibu. Itu sebabnya masa single digunakan untuk membuka mata lebar-lebar mencari jodoh, atau bahkan, para wanita yang ‘kurang saleh’, mencoba mengeksplorasi setiap hubungan demi suatu probabilitas, bahwa hubungan tersebut akan berakhir di pernikahan. 

Pada masa single, para wanita yg ‘saleh’ berusaha sekuat tenaga untuk menjaga ke-single-annya dengan tidak berpacaran. Tentunya, sambil mengalami kebingungan, bagaimana bisa menemukan Mr. Right kalau tidak menjalin hubungan? Katanya sih, dengan persahabatan. Maka mereka pun banyak bersahabat. 

Sambil bersahabat, mengenali banyak pria. Tapi namanya juga manusia, kalau sudah ada ‘chemistry’-nya, sulit menjaga kemurnian hati. Apalagi dipandang dari segala kriteria, sudah cocok. Tapi, belum cukup umur. Gimana dong? 

Yang lebih parah lagi, prianya juga setuju, bahwa mereka adalah pasangan sehidup semati. “Walau 10 tahun lagi pasti aku nikahi kamu,” begitu katanya. 

“Tapi kita kan ga boleh pacaran,” kata si wanita. 

“Gak pa pa,” kata si pria, “Kita bisa tetap bersahabat kan? Sampai 10 tahun lagi?” 

Lalu mulailah mereka bersahabat. Tapi rasa saling memiliki, karena sudah mengungkapkan perasaan dan mengucap janji suci “akan menikah 10 tahun lagi”, tidak bisa dihindari. Jadilah hubungan persahabatan jenis baru, yaitu Sahabat Plus Plus. 

Bagaimana dengan yang sudah cukup umur? 

Di masa singlenya, juga membuka mata lebar-lebar untuk mencari jodoh, tentunya dengan panduan daftar kriteria yang berbeda dengan wanita yang satunya di atas. Mungkin sedikit lebih dewasa. Tujuannya, mencoba melepas status ‘single’ itu di KTPnya agar “utuh” sebagai seorang wanita. 

Apalagi, ketika melihat teman-teman seumur sudah punya pasangan, sudah akan menikah, sudah menikah, dan sudah beranak 2. Apalagi, ketika ditanya teman yang ketemu di kondangan, “Cowok u mana?” dan juga di pertemuan keluarga besar, “Udah punya pacar belom?” 

Atau, “Kapan nih nyusul cicinya?” 

Atau, “Kenapa nih, masih jual mahal ya?” 

Atau, “Mau ga Tante kenalin sama keponakan Tante?” 

Atau, “Ada temen Tante nih, dulu sama-sama kuliah bareng. Sekarang istrinya udah meninggal. Anaknya 1. Tante kasih no. telp kamu ya?” 

Semakin menyeramkan. Maka, untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan di atas, mulailah menjalin hubungan, sedikit berkompromi dengan daftar kriteria yang sudah dibuat, dan merasionalisasikan setiap rasa ‘kurang sreg’ di hati. Bersahabat dulu, lalu…. Berhubung kurang adanya kecocokan, terpaksa bubar jalan. 

Lambat laun, meninggalkan daftar kriteria yang tadinya 2 halaman dan hanya memperhatikan 2 nomor paling atas: Cinta Tuhan dan Cinta Keluarga. 

Menyesali kenapa sedari dulu terlalu fokus di pendidikan, pelayanan, pekerjaan, dan lain-lain sehingga tidak mulai melihat-lihat dan mencari pasangan. Sekarang sudah susah. Sudah mau expired!!!!!! 

Menurut saya, masa single dimulai ketika seorang wanita menyadari bahwa hidupnya tercipta untuk menemani sang Adam. Bahwa cewek itu nantinya menikah sama cowok. Saat itulah, wanita harus mulai benar-benar menjaga hati dan hidupnya. 

Banyak kekacauan dimulai dari usia muda, karena paradigma yang menganggap bahwa masa single hanyalah masa transisi untuk kemudian menjadi seorang istri. Ups, SALAH!!!! Masa single, adalah masa yang paling berharga karena seorang wanita sudah mengerti bahwa ia akan menjadi pendamping untuk seorang pria nantinya, dan untuk itu ia diharapkan menjadi penolong yang sepadan. Penekanannya di sini bukanlah menemukan si Adam yang harus ditemani nantinya, tapi bagaimana wanita punya kualitas untuk menjadi penolong. 

Masa single, adalah masa dimana wanita berfokus pada dirinya sendiri dan segala kualitas karakternya, mencoba menemukan apa yang kurang baik dan memperbaikinya, menjaga dirinya kudus di hadapan Tuhan sebagai bagian dari menjadi pasangan yang terbaik, dan menjaga hatinya supaya bisa mendapat yang TERBAIK dari Tuhan, bukan yang SECOND BEST. 

Bagaimana bisa tahu kita sudah menjadi penolong yang sepadan, kalau tidak ada padanannya? Apa patokannya kita sudah jadi penolong yang sepadan? 

Ini pertanyaan yang sering menjadi alasan untuk seorang wanita membangun hubungan lebih dahulu dengan si A, dan baru mengikuti proses Tuhan agar bisa dibentuk jadi penolong yang sepadan, seperti yang diinginkan dan dibutuhkan si A. Lalu wanita itu bisa bilang, “Saya sudah jadi penolong yang sepadan buat si A.” 

Astaga. 

Terkejut betapa manusia bisa membuat berbagai alasan dan memanipulasi berbagai segi untuk memuaskan keinginan dagingnya? Dan sedihnya, kepuasan yang didapat dari itu tidak ada 1% nya dibandingkan dengan kepuasan yang didapat apabila kita percaya sepenuhnya pada rencana Allah dan melihat penggenapannya dalam hidup kita. 

Jadi, apa yang harus dilakukan? 

Mulai dengan fokus pada diri sendiri. Bayangkan kita ada di atas tangan Bapa yang besar, berdiri menghadap wajah Bapa. Di sekeliling dan di belakang kita mungkin banyak hal terjadi, tapi fokus penglihatan kita hanya satu: Bapa. Membangun diri dan karakter kita, melatih diri untuk rajin dan cermat, untuk memiliki belas kasihan, untuk mengasihi tanpa syarat, untuk mengampuni dan rela berkorban, mau diajar dan setia, untuk Bapa. Bukan untuk pasangan hidup, bukan untuk keluarga yang menuntut, tapi untuk Bapa. 

Karena, Bapa yang menciptakan kita sebagai seorang wanita dan Ialah yang tahu jelas bagaimana wanita yang sempurna itu, sesuai blue print-Nya. Ia yang tahu bagian mana yang perlu dilembutkan dan dibentuk kembali agar sempurna. Ia satu-satunya yang punya gambaran yang sempurna mengenai apa yang dimaksud dengan SEPADAN. Yaitu bagaimana wanita yang sempurna melengkapi pria yang sempurna, menurut kriteriaNya. 

Get what I mean? 

Artinya, di tangan yang lain Bapa juga sedang membentuk seorang pria agar sempurna, luar dalam, bukan menurut standar kesempurnaan kita, tapi menurut standarNya. Agar suatu hari nanti menurut waktuNya, Bapa akan membawa kita bertemu dengan pria yang sudah disempurnakan. Tangan yang satu bertemu dengan tangan yang lain. Kita mengalihkan pandangan kita dari Bapa, untuk melihat rencana Bapa yang digenapi dalam hidup kita, oleh kehendakNya. Maka kita tidak bisa lagi dikecewakan oleh keterbatasan dan pengharapan manusia. Karena apa yang Bapa berikan, that’s for real. 

~”….bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka.” Pengkh 3:11a.~ 

Berlatihlah dengan menjadi penolong untuk pria yang ada di sekitarmu. Berlatihlah dengan melayani anak binaanmu. Bahkan, berlatihlah dengan keluargamu, ibumu, adikmu. Berusahalah untuk menjadi wanita yang sesuai standar Allah, bukan standar calon suamimu. Only then you can be a winning prize that every man wants. 


So I promise to, be true to You. 
To live my life, in purity, as unto You. 
Waiting for the day, when I hear You say, 
“Here is the one I have created just for you.” 
~Jaci Velasquez, I Promise~